Part 53

3.3K 294 205
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Kehadiran Matthew sangat disyukuri oleh Alana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kehadiran Matthew sangat disyukuri oleh Alana. Berkat Matthew, urusan administrasi bisa diurus. Tantenya bisa mendapat penanganan lebih lanjut.

Alana menunggu resah di luar ruangan. Mondar mandir sambil menggigit ujung kuku gelisah. Takut membayangkan keadaan di dalam. Takut kehilangan Tante Fitri.

Tingkah gelisah Alana diinterupsi oleh Matthew. Ditariknya lengan Alana lembut. Menuntun Alana duduk di sampingnya.

"Tenang, Na. Gue yakin Tante Lo bakalan baik-baik aja."

"Gimana gue bisa tenang, Matt? Tante gue sedang berjuang sendirian di dalam sana. Gak ada yang nguatin Tante gue di dalam. Suaminya ntah pergi kemana. Ditelpon gak diangkat, dichat gak dibaca."

"Gue yakin Tante Lo kuat meskipun gak didampingi suaminya."

Alana menyandarkan kepalanya lemah di bahu Matthew. "Sekarang, gue ngerti alasan Lo bisa sebenci itu sama ayah Lo. Jadi, gini rasanya gak ada yang bisa diandalkan saat genting?"

Matthew hanya mengelus rambut Alana. Membiarkan Alana berkeluh kesah. Tanpa mengiyakan ataupun membantah.

Alana mendadak menegakkan tubuhnya seraya menatap Matthew. "Kalau gak ada Lo, gue gak tahu harus gimana. Makasih udah datang ke sini, Matt."

Matthew tersenyum tulus. "Gak perlu berterima kasih, Na. Gue malah senang Lo mengingat gue pas dalam keadaan genting. Artinya, gue berarti 'kan buat Lo?"

Bibir Alana menipis. Bingung harus menjawab bagaimana.

Matthew memang berarti untuknya, tapi jika menjawab begitu artinya dia akan membuat Matthew berharap.

Tak seharusnya mereka melampaui batas pertemanan.

Alana tak bisa membayangkan menjalin hubungan dengan anak tiri Tante Fitri.

"Teruslah mengandalkan gue, Na. Gapapa gue digantung selamanya, asalkan Lo gak menghindari gue lagi."

"Kapan gue menghindari Lo?"

"Emangnya Lo pikir gue gak akan sadar? Lo menghindari gue terang-terangan sejak nyatain perasaan malam itu. Lo selalu membalas cuek pesan gue. Tiap kali diajak ketemuan, pasti selalu nolak. Tiap kali diajak main, ada aja alasan Lo."

Alana meringis pelan karena Matthew menyadari hal tersebut. Ia memang menghindari Matthew sejak Minggu lalu. "Maaf. Gue bingung menghadapi situasi sekarang."

"Bingung kenapa?"

Alana terdiam membisu.

"Lo gak suka sama gue? Makanya bingung harus bagaimana?"

"Bukan!"

Alana refleks menutup mulut malu sedangkan Matthew tersenyum manis.

"Berarti Lo suka juga sama gue?"

Matthew menatap Alana penuh selidik. "Trus, kenapa Lo menghindari gue kalau suka?"

Alana sontak menghindari tatapan Matthew yang seakan mengulitinya hidup-hidup.

Beruntung, David tiba-tiba muncul dan menanyakan kondisi Tante Fitri. Napas pria itu begitu memburu. Wajahnya sudah tak karuan akibat terlampau panik.

"Maaf, Na. Om sibuk banget tadi dan baru sempat lihat chat kamu. Sekarang, gimana keadaan Tante kamu?"

Alana memutar bola mata malas. "Om ngapain sih sampai nolak panggilan aku berkali-kali?" Kesalnya.

"Tadi om ada meeting penting sama klien. Makanya, om gak bisa mengangkat telepon kamu."

"Masa gak bisa permisi ke klien sebentar untuk angkat telepon?" Tandas Alana.

"Gak bisa, Na."

"Huh, kalau aku gak ada, pasti Tante udah kenapa-napa," keluh Alana sinis. "Uang emang penting, om. Tapi, kalau istri dan calon anak om meninggal karena kelalaian om, apa gunanya uang yang om cari? Atau emang berniat memperkaya diri sendiri?" Omelnya.

"Iya, maaf. Om tahu om salah. Om janji gak akan mengulanginya lagi," sahut David sabar lantaran sadar bahwa dirinya memang bersalah. Tetap mengambil job penting di saat istrinya sedang hamil tua.

Bertepatan dengan itu, Dokter Emery keluar dari ruangan. Menginformasikan bahwasanya Tante Fitri sudah melahirkan seorang bayi perempuan dengan selamat.

David masuk ke dalam ruangan sementara Alana dan Matthew menunggu di luar.

"Sepanik apapun om, masa mengabaikan Lo sih, Matt? Nyebelin banget. Setidaknya, basa basi dikit gitu kek." Decak Alana pelan.

"Udah biasa, Na." Tawa Matthew santai.

Alana menatap Matthew kasihan.

"Gak usah kasihan gitu. Gue gapapa, Alana. Gue udah terbiasa hidup tanpa dirinya. Dunia gue tetap jalan meskipun dia gak ada."

"Sumpah. Lo kuat banget."

"Terpaksa kuat oleh keadaan."

"Maaf. Gue malah sok ikut campur urusan Lo. Awalnya gue pikir, Lo berlebihan banget. Tapi, setelah melihat dan mengalami langsung, ternyata pikiran gue salah. Dia gak ada saat Tante gue melahirkan. Sementara Lo, mengalami lebih parah daripada itu. Dia gak ada saat ibu Lo meninggal dunia, saat Lo sangat membutuhkan sosoknya. Entah sesedih apa gue kalau seandainya berada di posisi Lo."

Matthew tersenyum tipis. Bahagia Alana memahaminya. Bahagia Alana berhenti menghakiminya.

Sejujurnya, Matthew tahu ayahnya tak berselingkuh. Hanya saja, ia memerlukan tempat pelampiasan. Melampiaskan emosi, kekesalan, dan amarahnya ke orang lain. Fitri pun tak luput dari tempat pelampiasan amarahnya. Karena hanya dengan begitulah, hati Matthew sedikit terobati atas sifat lalai dan abai ayahnya di masa lalu.

Matthew butuh sosok yang disalahkan atas kematian ibunya. Matthew butuh pengalih pikiran.

Kekanakan memang. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Matthew mulai menerima keadaan. Matthew mulai berhenti menyalahkan Fitri.

Hanya saja, Matthew sudah terlanjur malas berurusan dengan ayahnya lagi sekaligus merasa bahwa tempat untuknya dan almarhum ibunya sudah tergantikan oleh orang lain.

Terlebih lagi, Matthew kesal atas sifat cuek ayahnya yang tak pernah berusaha mencarinya sekalipun. Ayahnya terus berada di Sydney. Sibuk mengurusi pekerjaan dan keluarga baru. Tertawa bahagia bersama keluarga baru. Seolah telah melupakan dirinya.

Lantas, bagaimana perasaan Matthew saat mengetahui sang ayah masih mengingat dan menyayanginya?

Jika ditanya demikian, maka Matthew akan menjawab dengan percaya diri ... "Biasa saja."

Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dalam kurun waktu satu tahun itu, Matthew pernah menunggu. Menunggu kedatangan ayahnya. Menunggu sang ayah membujuk dan mengajaknya ke Sydney.

Namun, apa yang didapatnya?!

Ayahnya malah tidak pernah muncul.

Jadi, bisa dikatakan bahwa semua bentuk perhatian dan semua ucapan sang ayah sudah basi.

Matthew sudah tidak membutuhkan sosok itu lagi. Matthew sudah terbiasa menjalani kehidupan tanpa sosok ayah. Matthew sudah terbiasa hidup sendiri.

Bersambung...

9/9/2024

Kuy spam komen di sini...

Next👉👉

Semangat👉👉

Tembus 150 komen, ku kasih triple up malam ini jugaa💋

Sttt!! Dilarang komen kata yg gak ada maknanya🤠

firza532

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang