Vote sebelum baca 🌟
_______
Jalanan pagi ini dipadati kendaraan seperti hari biasanya. Semua orang sibuk memulai aktivitas harian, entah itu pergi ke sekolah ataupun pergi ke tempat kerja. Sudah menjadi pemandangan sehari-hari di kota Jakarta.
Di tengah padatnya kendaraan, Alana duduk tenang di sebuah mobil bersama papa. Sibuk melahap sarapan yang dibawa dari rumah. Terus mengunyah hingga pipinya membulat sempurna. Terlihat sangat menggemaskan di mata sang papa.
Papa tertawa geli melihat pipi Alana mengembung lucu. Tawa yang tak disadari oleh si empu. Terkadang, gadis itu memang sangat tidak peka jika sudah fokus terhadap sesuatu.
Papa berdehem pelan. "Na." Mencoba menarik perhatian putrinya. "Alana." Memanggil sekali lagi lantaran diabaikan.
Mata sipit Alana menatap sosok pahlawan dalam hidupnya. "Ya, pa?"
"Enak banget ya masakan mama sampai papa dicuekin?"
"Hehe. Iya, pa. Papa tau sendiri lah gimana enaknya masakan mama." Cengir Alana.
"Beruntung banget 'kan papa bisa dapetin istri pinter masak kayak mama." Cetus papa.
"Berarti kalau mama gak pinter masak, papa merasa rugi dong?" Tandas Alana penasaran.
"Gak juga. Papa tetep beruntung karena mama kamu cantik."
"Kalau mama jelek?"
"Papa tetap beruntung karena mama kamu penyayang, baik hati, mau menemani papa berjuang, dan setia. Intinya, memiliki mama kamu dalam hidup papa merupakan sebuah keberuntungan terbesar bagi papa."
Alana mendesah iri. "Papa bucin banget sumpah. Kapan ya aku dapetin cowok kayak papa. Bisa gak pa aku dapetin cowok baik kayak papa? Merasa tetap bersyukur bagaimanapun kondisiku." Curhatnya.
"Pasti bisa! Sekarang gimana, kamu udah punya pacar?"
"Boro-boro punya pacar, pa. Punya orang yang disukain aja gak ada."
"Kok bisa? Jangan-jangan kamu gak normal? Kamu suka cewek?"
Alana sontak tersedak mendengar pertanyaan tersebut. Sungguh pertanyaan di luar prediksi. Ia buru-buru mengambil botol minum dan meneguknya hingga lega.
"Papa nih ngelawak aja. Masa aku suka sama cewek sih, pa?" Protesnya tak terima hingga papa tertawa kencang.
"Tapi nih, Na. Kalau suatu saat nanti kamu mau pacaran. Saran papa jangan terlalu bucin. Kamu harus tetap prioritaskan kuliah. Kamu harus bisa jaga diri. Secinta apapun kamu, jangan pernah mau menyerahkan harta paling berhargamu. Kamu harus bisa jaga diri karena gak selamanya papa bisa lindungin kamu."
Alana menatap papa sedih. "Pa, jangan ngomong kayak gitu. Aku takut. Aku merasa papa bakal pergi jauh dari aku," cicitnya.
Papa Alana tersenyum lembut. "Gak kok. Papa gak akan kemana-mana. Papa akan tetap berada di sampingmu selamanya."
Alana menghela napas kasar. "Kok aku malah makin sedih ya dengerin papa ngomong gitu?"
"Pasti kamu habis baca novel tentang kematian, 'kan? Makanya sedih pas papa ngomong kek tadi." Tuding papa langsung sedangkan Alana menyengir polos.
"Iya, pa."
"Pantesan jadi melow gini." Papa menggelengkan kepala gemas. Sementara Alana melanjutkan sarapan yang sempat tertunda.
"Oh ya Na, hari ini papa dan mama gak bisa jemput kamu. Gapapa 'kan kamu pulang sama ojol?"
Lagi-lagi Alana meninggalkan motornya di rumah karena lelah menghadapi masalah setiap kali membawa motor. Ada-ada saja masalah yang menimpanya jika membawa motor. Entah itu rusak ataupun kehabisan bahan bakar. "Iya, pa. Gapapa kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER
Teen FictionKehidupan tenang Alana perlahan terganggu oleh kehadiran seorang stalker. Membayangi kehidupannya siang dan malam. Menjajah mimpi-mimpinya. Menanamkan keresahan di setiap langkahnya. Siapakah pria yang menjadi stalkernya? Apa alasan pria itu mengang...