Part 55

3.8K 303 118
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Alana bertopang dagu di dekat sofa. Menatap lekat papa yang sudah tertidur sejak beberapa menit lalu. Menatap sosok pahlawan dalam hidupnya.

Sejak kecil papa selalu bekerja keras. Tanpa kenal lelah. Demi memberikan yang terbaik untuknya .

Apapun keinginannya selalu dituruti. Mainan, pakaian, perhiasan, makanan, ataupun hal lainnya. Papa selalu berusaha memberikan semuanya.

Terkadang, Alana malu pada diri sendiri. Malu masih membebani papa. Malu masih bergantung. Malu masih menjadi sosok anak yang manja.

Alana ingin bekerja. Menghasilkan uang sendiri. Lalu, memanjakan papa dengan gajinya. Membiarkan papa beristirahat supaya tidak kelelahan lagi.

"Betapa beruntungnya aku punya papa. Suatu saat nanti, aku pasti akan membalas semua kebaikan papa. Maka dari itu, papa harus selalu sehat agar aku bisa membalas kebaikan papa," ujarnya lirih.

Suara petir menggelegar di luar mengejutkan Alana. Saking terkejutnya, ia sampai meloncat ke samping dengan jantung yang berdebar kencang. "Njir!! Ngagetin aja." Mengusap dadanya. Menenangkan detak jantung nan menggila.

Iris hazelnya melirik ke luar jendela. Hujan turun begitu deras disertai petir. Menyilaukan mata dan meninggalkan kengerian.

Pikirannya sontak tertuju ke mama yang sedang membeli makan malam. Ia menggigit ujung jari gelisah. Bagaimana kalau mamanya terjebak hujan lebat?

Alana menutup telinga rapat-rapat ketika kilatan putih menyambar tanpa ampun. Semakin resah memikirkan mama. Khawatir mama tersambar petir.

Brak!!!

Alana terlonjak kaget ketika jendela tiba-tiba terbuka. "Copot jantung gue," keluhnya sembari mengusap dada.

Matanya melirik jendela sekilas. Namun, bukannya pergi ke sana, ia malah menaikkan kedua kakinya di atas sofa. Memeluk lututnya. Tak berani berjalan ke arah jendela mengingat jam sudah menunjukkan pukul 22.30.

Bagaimana kalau sosok berpakaian serba putih menyambutnya jika pergi ke sana?!

Bukan tak mungkin sosok berpakaian serba putih muncul dihadapannya. Hawa mistis rumah sakit, suasana mencekam, hujan lebat, petir, angin kencang, dan jendela yang tiba-tiba terbuka ... Semuanya mendukung terjadi adegan horor seperti di dalam film-film.

Memikirkan hal tersebut, Alana kian merapatkan tubuhnya di sofa sambil berkomat kamit.

"Loh, kenapa jendelanya gak ditutup, Na?"

Betapa leganya Alana melihat mama datang dan menghampirinya. "Takut, ma." Adunya.

Mama tertawa geli. "Dasar penakut," ledeknya sembari meletakkan makan malam di atas meja. Kemudian, menutup jendela. Selesai menutup jendela, mama duduk di samping Alana.

"Mama beli apa?" Alana bertanya seraya menebak menu makan malam.

"Mie ayam."

"Wihh. Enak nih, ma. Gak sabar makan mie ayam lagi."

Mama terbahak. "Kangen ya karena di Sydney gak ada mie ayam?"

"Iya, ma," kikik Alana.

"Oh ya, mama lihat oleh-oleh di kopermu banyak banget. Beli buat siapa aja?"

"Buat mama, papa, teman-teman, sama anak panti."

"Kamu juga beliin buat anak panti? Anak panti yang waktu itu kita kunjungi?" tanya mama memastikan.

"Iya, ma. Anak panti waktu itu. Aku mau berbagi kebahagiaan sama mereka."

Mama tersenyum haru mendengar ucapan putri kesayangannya. "Mereka pasti bakal senang banget."

****

Kaki Matthew terasa berat. Enggan melangkah masuk ke dalam ruangan. Enggan bertemu dua sosok di dalam ruangan.

Tangannya menempel kaku di pintu. Netra abu-abunya menatap orang yang tertawa bahagia di dalam ruangan.

Keraguan membelenggu Matthew. Ragu membuka pintu. Ragu menginterupsi kebahagiaan keduanya.

Perlu diakui, Matthew benci melihat mereka tertawa bahagia. Seolah tak memiliki beban hidup. Seolah tak pernah terjadi apapun sebelumnya.

Hembusan napas kasar keluar dari mulutnya. Matanya berkilat penuh tekad. Lantas, mendorong pintu dengan gagah berani.

Ya. Pada akhirnya, Matthew memberanikan diri masuk ke dalam ruangan demi mencari keberadaan Alana. Ia sungguh tak bisa tenang memikirkan alasan Alana mengabaikannya ataupun alasan tidak bisa menemukan Alana dimanapun. Ia butuh kejelasan.

Pandangan kedua orang dewasa di dalam ruangan tertuju ke arah Matthew. Tersentak kaget melihat keberadaan Matthew. Hendak bertanya, tapi Matthew lebih dulu memotong ucapan David.

"Dimana Alana?"

Keheningan mengambil alih sejenak di dalam ruangan itu akibat pertanyaan frontal bernada dingin Matthew.

"Alana sudah pulang. Memangnya dia gak mengabarimu?"

Matthew tercengang.

Wajar saja jika ia tak bisa menemukan Alana dimanapun.

Ternyata orang yang dicarinya sudah pulang.

Mungkinkah Alana sangat membencinya hingga pulang tanpa mengabarinya?!

"Kemarin Alana buru-buru pulang karena papanya sakit," jelas Fitri akibat kasihan melihat wajah nelangsa Matthew.

Bagaikan kalimat penghiburan, Matthew menghela napas lega. Lalu, meninggalkan ruangan tanpa basa basi. Berniat segera pulang ke Indonesia. Meninggalkan David dan Fitri yang saling bertukar pandang.

"Apa ini hanya perasaanku saja? Ku rasa, Matthew menyukai Alana." Cetus Fitri.

"Bukan perasaanmu saja, sayang. Matthew memang menyukai Alana. Terlihat sangat jelas dari tatapan dan tindakannya."

Fitri manggut-manggut pelan. "Bagaimana menurutmu jika seandainya mereka menjalin hubungan? Apakah kamu merestui hubungan mereka, sayang?"

David terdiam cukup lama. Tak tahu harus menjawab apa.

"Kalau aku, menentang hubungan mereka. Gak seharusnya sesama keluarga menjalin hubungan romantis," tutur Fitri mengakhiri pembicaraan tentang Matthew.

Bersambung....

14/9/24

Tembus 100 komen, ku kasih double update💋

firza532

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang