Part 28

5.9K 491 149
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Baru bisa update karna kemarin² aku sakit🙂

_________

Siulan pelan terdengar samar di sebuah kamar. Seorang perempuan bertubuh mungil terlihat sibuk memasukkan buku ke dalam tas. Tak lupa pula memasukkan air minum dan beberapa cemilan.

Setelah itu, ia pun bercermin. Memastikan penampilannya sudah perfect. Tersenyum puas kala melihat kemeja pink dan rok selutut berwarna putih tampak sangat cocok di tubuh langsingnya. Riasan wajah dan tatanan rambut turut mempercantik penampilannya pagi ini.

Mood Alana membaik melihat penampilannya. Merasa sangat percaya diri menjalani hari ini. Merasa sangat bersemangat memulai kuliahnya.

Terkadang, berpenampilan cantik bukan bertujuan dilihat orang lain, akan tetapi bertujuan dilihat diri sendiri.

Rasa puas terhadap diri sendiri lebih menyenangkan daripada mendapatkan pujian dari seseorang. Tiada hal yang lebih menyenangkan daripada kepuasan pribadi. Maka dari itu, Alana selalu berusaha terlihat cantik agar moodnya terus terjaga sepanjang hari.

"Semangat menjalani UTS hari terakhir, Alana!" Dengan semangat berkobar, Alana berjalan menuju rak sepatu.

Koleksi sepatu berbagai mode menyambut penglihatannya. Mulai dari flat shoes hingga high heels.

Alana menelisik satu persatu. Mencari sepatu yang cocok dengan pakaiannya. Pilihannya berakhir di salah satu high heels berwarna putih yang senada dengan warna rok.

Alana hendak memakai heels itu, tapi bunyi sebuah mobil memasuki halaman rumah membuat Alana mengurungkan niat. Ia melirik keluar jendela. Melihat wajah tamu di pagi hari.

Mulutnya sedikit terbuka melihat Matthew keluar dari mobil berwarna hitam.

Terkejut mengetahui ucapan Matthew kemarin terbukti nyata.

Matthew benar-benar datang menjemputnya.

Alhasil, Alana menjadi panik sendiri.

Panik membayangkan reaksi orangtuanya.

Alana bahkan buru-buru turun dari kamar. Bermaksud segera pergi sebelum kedua orangtuanya menyadari kehadiran Matthew.

Saking buru-burunya, Alana sampai menenteng heels-nya ke lantai bawah.

Sial sekali, papa Alana ternyata sudah lebih dulu menghampiri Matthew dibanding Alana.

Alana berhenti tepat di balik pintu. Ragu antara ke sana atau membiarkan mereka selesai berbicara dulu. Entah kenapa, Alana jadi deg-degan sendiri.

Padahal Matthew bukan pacarnya, tapi kenapa Alana takut dimarahi papa?

"Siapanya Alana, nak? Pacar atau teman?"

"Teman Alana, om," jawab Matthew sopan.

"Ohh, teman. Kirain pacar. Soalnya baru kali ini ada cowok yang berani datang langsung ke sini."

Dalam diam, Alana menyetujui ucapan papa. Meski sudah sering berpacaran, Alana tidak pernah membawa pacar ke rumah. Alana selalu bertemu pacar di luar rumah.

"Haha, untuk sekarang cuma teman, om."

'Maksudnya?!' pikir Alana heran.

"Suka sama Alana?" tanya papa Alana blak-blakan. Mengejutkan Alana.

"Siapa sih yang gak suka sama anak om."

'Suka sebagai teman kali ya?' pikir Alana polos.

"Iya sih. Soalnya dia cantik, imut, manis, dan menggemaskan banget," sahut papa bangga. Membuat Alana menutup wajah malu. Malu dipuji di hadapan Matthew.

"Sekelas sama Alana, nak?"

"Gak, om. Saya beda jurusan dengan Alana. Saya jurusan DKV."

"DKV? Jago menggambar berarti?"

"Lumayan, om."

"Kenapa bisa kenal sama Alana?"

"Kebetulan waktu itu saya gak sengaja lihat Alana terluka, om. Jadi, saya inisiatif bantuin karena gak tega lihat tangannya terus mengeluarkan darah."

Papa mengangguk mengerti. "Kalau gitu, kita masuk dulu yuk. Sarapan bareng dulu sebelum ngampus."

"Ah, gak usah, om. Saya gak mau ngerepotin."

"Gak ngerepotin sama sekali. Ayo buruan masuk. Alana pasti udah mau turun nih."

Mendengar hal itu, Alana buru-buru melarikan diri ke ruang makan. Takut ketahuan menguping.

"Loh, Alana? Udah siap aja?"

Alana mendesah pasrah akibat ketahuan. Untunglah, ia berada tepat di tangga. Jadi kedua pria itu pasti berpikir dirinya baru turun dari kamar. "Udah, pa," cengir Alana.

"Sarapan dulu sebelum pergi sama temanmu ke kampus. Papa gak mau kamu sakit."

"Iya, pa."

"Pakai heels lagi?" Celetuk papa melihat high heels setinggi 5 cm di tangan Alana.

"Iya, pa. Biar aku kelihatan tinggi hehe."

"Ada-ada aja. Padahal pendek lebih gemesin, iya 'kan Nak Matthew?" Cetus papa meminta persetujuan Matthew.

"Iya, om." Kikik Matthew.

"Lana lebih suka pakai heels." Kilah Alana.

"Tiati, ntar kakimu terkilir."

"Tenang, pa. Udah biasa kok. Gak akan terkilir."

"Iya deh. Ayok buruan ke ruang makan. Mamamu udah nunggu dari tadi."

Papa berlalu pergi ke ruang makan lebih dulu, sementara Alana dan Matthew mengekori dari belakang.

"Kok gak ngabarin kalau mau jemput gue?" bisik Alana pelan.

"Bukannya kemarin gue udah bilang?" balas Matthew berbisik.

"Lah, kirain cuma bercanda doang."

"Gak suka ya?"

"Bukan gak suka, tapi lebih ke kaget."

"Kirain terganggu."

"Wah, siapa ini? Pacar Alana ya?" Mama terlihat antusias menyambut kedatangan Matthew di ruang makan.

"Bukan, ma. Ini teman Alana." Sanggah Alana cepat.

"Oalah! Kirain pacar. Namanya siapa, nak?" tanya mama ramah.

"Matthew, Tante." Matthew mencium tangan mama dengan sopan sehingga membuat wanita paruh baya itu tersenyum senang.

"Buruan duduk, Nak Matthew. Kamu suka makan apa? Biar Tante ambilin."

"Eh, gak usah Tante," tukas Matthew tak enak hati.

Meski telah menolak, mama tetap mengambilkan Matthew makanan sembari terus berceloteh. Terlihat antusias menyambut kedatangan Matthew. Terus menerus menyuruh Matthew mencoba menu lain hingga Matthew kekenyangan.

Suasana hangat itu membuat Matthew turut larut. Bibirnya selalu menyunggingkan senyuman manis. Bahagia bisa bergabung ke dalam keluarga harmonis Alana. Bahagia bisa merasakan pengalaman berharga dalam kehidupan membosankannya. Serta ingin terus berada di tengah-tengah mereka.

Sementara Alana, diam-diam menggelengkan kepala heran melihat tingkah mama. Terlalu antusias. Sudah seperti menyambut pacar Alana saja, padahal hanya teman Alana.

Bersambung...

9/8/24

Tembus 100 komen, ku kasih double up 💋

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang