Part 26

3.2K 364 139
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Baru bisa update karna sebelumnya sibuk penelitian🙂

_________

Alana menutup wajah malu. Teringat percakapan beberapa hari lalu dengan Sean. Percakapan yang membuatnya kehilangan muka.

Beruntung, ojol datang tepat waktu sehingga ia bisa melarikan diri dengan anggun.

Entah bagaimana jadinya jika Sean memiliki kesempatan menuntut jawabannya. Entah semalu apa dirinya harus menjelaskan semua hal satu persatu.

Jika dipikir-pikir, mustahil Sean pelaku penguntit. Andai kata Sean stalkernya, sudah pasti Sean tidak akan berani berbicara seperti itu.  Sean pasti tetap bersembunyi dalam kegelapan. Memantau pergerakannya tanpa berani mendekat.

Lantas, siapakah stalker sebenarnya? Lucas-kah?

"Siapapun boleh, asalkan jangan dia!" Ia bergidik ngeri. Bahkan, dengan membayangkannya saja, Alana sudah sangat ngeri. Alana dapat membayangkan kemarahan Bulan saat mengetahui hal tersebut.

Sungguh, Alana tidak ingin bermasalah lagi dengan Bulan. Alana tidak ingin bertengkar karena masalah pria. Alana ingin hidup tenang.

Mengingat sifat Bulan, bukan hal mustahil Bulan akan mencari masalah dengannya.

Alana meniup poni gusar. Gelisah. Lantas meraup wajah frustasi.

"Na."

Larut dalam pemikiran sendiri, Alana tidak sadar Bulan memanggilnya.

"Alana," panggil Bulan sekali lagi melihat Alana termenung.

Bulan memberanikan diri duduk di depan Alana dan berdehem kuat. Mencuri perhatian Alana.

Alana menaikkan alis heran melihat Bulan duduk di depannya. Sementara biasanya Bulan bertindak seolah tak mengenalnya.

"Kenapa?" tanya Alana saat Bulan tidak kunjung bersuara.

Bulan tertunduk lesu dengan tangan tertaut. Menunjukkan sedang salah tingkah, resah, dan gugup. "Maaf, Na. Gue sadar, gue keterlaluan banget. Gak seharusnya gue melampiaskan emosi gue ke Lo."

Alana terdiam, enggan menyahut ucapan Bulan.

"Maaf. Padahal gue tahu kalau Lo gak mungkin setega itu sama gue. Tapi gue tetap aja nuduh Lo demi membuat perasaan gue menjadi lebih lega. Hari itu pikiran gue kacau banget. Gue butuh tempat pelampiasan karena dimarahi Lucas."

"Oke, gue maafin."

Bulan menatap Alana dengan senyuman cerahnya. "Beneran? Lo maafin gue?"

Alana tersenyum simpul. "Iya."

"Makasih, Alana."

Alana menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi melihat raut wajah ceria Bulan. "Gue emang udah maafin Lo, tapi kita udah gak bisa kayak dulu lagi."

Bulan menggoyangkan lengan Alana manja. "Jangan gitu dong, Na. Gue minta maaf. Gue harus apa biar Lo mau maafin? Gue traktir jajan sepuasnya di toko kue kesukaan Lo gimana? Atau traktir shopping di mall? Gue bakal lakuin apapun buat menebus kesalahan gue."

Gadis itu menarik tangannya yang dipegang Bulan. "Lo masih aja gak berubah. Gak selamanya uang bisa dijadikan sarana permintaan maaf, Lan."

"Husshh!! Minggir!! Jauh-jauh gih dari Alana!!" Usir Fanya tiba-tiba muncul bersama teman-temannya.

"Ewhh, gak tau malu banget. Baru kemarin nuduh-nuduh sahabat sendiri, sekarang malah ngemis minta maaf."

"Makanya sebelum ngomong itu dipikir dulu!"

"Jangan dimaafin, Na. Masa masih aja maafin dia? Dia udah pernah merebut pacar Lo, nuduh Lo, bahkan nampar Lo."

Semua orang yang masuk bersama Fanya turut mengompori. Membuat suasana runyam.

Bulan memutar bola mata malas. "Heh! Kalian gak usah ikut campur. Ini masalah gue sama Alana!" Ketusnya.

"Heran gue kenapa Alana betah temenan sama orang kayak Lo." Keluh Fanya gemas melihat tingkah Bulan.

"Udah, guys. Jangan bertengkar ya? Gue gapapa kok. Mending kita belajar. Gak lupa kan pagi ini kita ada UTS?" Lerai Alana. Tak mau melihat Bulan disudutkan. Biar bagaimanapun, Bulan pernah menjadi sahabat terbaik dalam hidupnya. Sahabat yang selalu menemaninya.

****

Seorang gadis berambut pendek tampak duduk tenang di sebuah bangku taman. Tanpa merasa terusik sedikitpun oleh orang yang berlalu di sekitarnya. Bersiap menghadapi ujian selanjutnya. Mengulang materi yang telah dipelajari tadi malam.

Terkadang, Alana iri melihat kemampuan orang lain. Sekali baca, sudah langsung tersimpan rapi di dalam otak. Sedangkan dirinya, harus membaca materi berulang kali agar tidak lupa. Seakan memori penyimpanan otaknya sudah penuh.

"Hai!"

Sapaan ramah dari seseorang menarik perhatian Alana. Ia pun mendongak, menatap asal suara. Sudut bibirnya tertarik ke atas melihat keberadaan Matthew.

"Boleh duduk di samping Lo?"

Alana sontak merapikan buku-buku di kursi sampingnya dan mempersilahkan Matthew duduk. "Iya, duduk aja."

"Makasih."

Lelaki itu duduk di sisi Alana dan meletakkan laptop di atas pangkuannya. "Huh, capek banget gue, Na." Keluhnya.

"Capek kenapa?"

"Capek ngerjain ujian. Sulit banget. Ujian Lo gimana? Sulit juga gak?"

"Gak terlalu sih."

"Kayaknya gue salah jurusan. Masih bisa pindah gak ya? Gue pengen pindah ke jurusan Lo."

"Mana bisa!"

"Padahal gue pengen banget pindah jurusan. Biar bisa santai. Trus bisa ketemu terus sama Lo."

"Emang gak muak ketemu terus sama gue?"

Matthew menggeleng polos.

"Kenapa?"

"Karena gue suka sama Lo."

Alana mengerjap kaget mendengar jawaban tak terduga dari Matthew. "Hah?"

"Maksudnya, gue suka ngobrol sama Lo."

Alana memukul lengan Matthew gemas. "Jelas-jelas dong! Hampir aja gue salah paham."

"Kalau gue beneran suka sama Lo, emangnya kenapa? Ada yang marah? Lo udah punya pacar atau gebetan mungkin?"

Alana mengangkat bahu cuek. "Belum sih."

Matthew tersenyum penuh arti. "Berarti ada kesempatan buat gue dong?"

Bersambung..

5/8/24

Tembus 100 komen, ntar ku kasih double up mumpung lagi rehat 🐱

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang