Part 38

4.5K 370 122
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Seorang gadis berkepang satu menggeret koper hitamnya perlahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang gadis berkepang satu menggeret koper hitamnya perlahan. Iris hazelnya melirik ke sana ke mari. Mencari keberadaan sosok tantenya di tengah keramaian.

Sesekali Alana terlihat mengusap keringat di dahinya. Bulan Januari ini, cuaca di Sydney cukup panas. Terlebih lagi, gadis itu salah memakai kostum. Ia memakai Hoodie putih dan celana panjang karena takut kedinginan.

Alana berhenti di salah satu kursi. Di tempat yang sudah ditentukan sejak semalam. Menunggu kedatangan tantenya sambil mengecek ponsel.

Ada beberapa pesan dari orangtuanya yang minta dikabari jika sudah mendarat di tempat tujuan.

Tentu saja, ia langsung mengabari kedua orangtuanya sebelum lupa. Takut membuat keduanya cemas.

Pertama kali pergi ke luar negeri sendirian membuat kedua orangtua Alana khawatir bukan main.

Sebelum pergi, mereka selalu menekankan Alana untuk menunggu di tempat yang telah ditentukan. Bahkan sempat-sempatnya mereka meminta Alana membatalkan niat pergi ke Sydney. Permintaan yang tentunya ditolak mentah-mentah oleh Alana.

Setelah membalas pesan, Alana kembali celingak celinguk. Mencari sosok tantenya. Lama menunggu, sosok yang ditunggu tak kunjung terlihat.

Wajah ceria Alana perlahan meredup akibat terlalu lama menunggu. Mungkin bagi orang lain, 15 menit baru sebentar, tapi bagi Alana yang menunggu sendirian di negara asing ... 15 menit terasa seperti 15 jam. Sangat lama dan melelahkan.

Pikiran buruk mulai menghantui Alana. 'Bagaimana kalau Tante melupakan kedatanganku?' Begitulah pikirnya.

Alana menggoyangkan kaki resah. Matanya terus melirik ke segala arah. Tidak bisa menunggu dengan tenang.

Pada akhirnya Alana memutuskan untuk menghubungi Tante Fitri. Sialnya, nomor Tante Fitri tidak bisa dihubungi.

Ia menghela napas pasrah. Lantas, mencari alamat rumah Tante Fitri yang sempat dia screenshot.

"Langsung pergi ke rumah Tante aja gak sih?" Gumamnya.

"Tapi, gimana kalau Tante ke sini? Nanti Tante panik dong karena mengira keponakannya hilang."

Alana menggaruk pipi bingung. "Ya udahlah. Nunggu aja deh."

Di kala sedang bimbang, Alana merasakan seseorang muncul di hadapannya. Alana mendongak. Matanya menangkap keberadaan seorang bule tepat di depannya.

Bule itu menatapnya lekat. Seolah sedang menilai. "Alana ya?"

Alana mendesah lega ketika ditanya dalam Bahasa Indonesia. "Iya, om. Kok om kenal saya?"

Bule bernama David itu tersenyum kecil. "Saya suami Tante Fitri kamu. Om David. Sudah lupa ya?"

Alana menepuk jidat gemas. "Bisa-bisanya aku lupa. Maaf, om." Wajar saja tadi Alana merasa familiar melihat wajah si bule.

Alana sontak berdiri dan menyalami suami tantenya sebagai bentuk kesopanan.

"Tante mana om?"

"Kebetulan Tante kamu tiba-tiba sakit pagi ini. Jadi, dia gak bisa ikut jemput kamu ke sini."

"Sakit apa, om?"

"Demam, Na."

"Parah, om?"

"Gak, Na. Tantemu cuma demam biasa."

"Syukurlah kalau gitu."

David mengambil alih koper yang dibawa Alana, lalu mengajak Alana ke mobil.

Alana berjalan di sisi David sembari menjawab pertanyaan basa basi dari pria itu.

Ia terpaksa berlari kecil karena langkah kaki David begitu lebar. Apalah daya kaki pendeknya jika dibandingkan kaki panjang David.

Saat sampai di mobil, Alana diam-diam menghela napas lega. Duduk di samping kemudi. Lalu, mengabari orangtuanya lewat chat untuk kedua kalinya.

"Btw, udah makan, Na?"

"Udah tadi di pesawat, om."

Sejujurnya, Alana sedikit canggung berinteraksi dengan suami Tante yang jarang dijumpainya.

Kalau tidak salah ingat, baru tiga kali Alana bertemu David. Pertama, saat dikenalkan ke keluarga besar. Kedua, saat resepsi pernikahan. Ketiga, sekarang ini.

Pertemuan mereka terlalu singkat sehingga Alana masih menganggap David sebagai orang asing. Orang asing yang berstatus sebagai pamannya.

"Om dengar kamu liburan semester 1 ya?"

"Iya, om."

"Anak om juga seangkatan sama kamu loh. Sekarang dia juga sedang liburan semester. Kamu kuliah dimana?"

"Di universitas X, om."

David menyahut antusias. "Wah! Kebetulan banget. Anak om juga kuliah di sana."

"Oh ya? Jurusan apa, om?"

"DKV, Na. Nama---"

Obrolan mereka terpaksa berhenti kala Mama Alana tiba-tiba melakukan panggilan video call.

Alana segera mengangkat panggilan tersebut sebelum mama overthinking dan menyusulnya.

"Dimana, Na?"

Alana menunjukkan kamera ke arah David. "Di mobil Om David, ma."

"Tantemu mana?"

"Katanya sakit, ma."

"Hah? Sakit apa? Parah gak? Aduh, harusnya mama ikut ke sana juga biar bisa jagain Tante kamu."

Wajah panik mama membuat Alana meringis.

"Tenang aja, Ta. Fitri cuma demam biasa," sahut David.

"Jangan ngeremehin demam biasa, Vid. Fitri kan sedang hamil besar. Takutnya nanti dia kenapa-napa. Kamu udah bawa Fitri periksa ke dokter?" Omel mama.

"Udah, Ta. Tadi Fitri udah diperiksa dokter."

"Bagus. Kalau demamnya gak kunjung turun, bawa aja dia ke rumah sakit. Kalau Fitri gak mau, paksa aja tuh bocah."

"Iya, Tata. Tenang aja."

Mama tersenyum puas di sebrang sana.

"Vid, tolong jaga Alana selama di sana ya. Jangan izinin Alana keluar malam-malam."

"Oke, Ta. Aman itu. Aku bakal jaga Alana kayak jaga anak sendiri."

"Ih, mama. Aku juga gak mau keluar malam kali ma. Takut diculik." Imbuh Alana gemas.

"Ya kan siapa tahu kebiasaan keluar malam kamu terbawa ke sana. Kalau mau beli cemilan, beli pas siang aja oke? Beli sebanyak mungkin. Misalkan uangmu kurang, nanti mama transfer lagi."

Alana mengulum senyum. Mamanya terlalu khawatir. Mama selalu memperlakukannya seperti anak kecil. Padahal dirinya sudah berusia 20 tahun. Sudah dewasa.

Bersambung...

26/8/24

firza532

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang