Part 32

4.9K 420 148
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Langit begitu cerah tanpa ditutupi awan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit begitu cerah tanpa ditutupi awan. Bintang-bintang bertaburan seperti permata. Bulan purnama bersinar terang benderang. Memancarkan cahaya lembut. Menyinari setiap objek yang dikenainya. Termasuk dua insan manusia yang sedang berjalan berdampingan. Alana dan Matthew.

Dedaunan pohon di sekitar Alana bergoyang pelan. Dimainkan angin. Pakaian Alana pun tidak luput dari ulah nakal angin. Dress merah mudanya berkibaran. Berakhir menahan ujung pakaiannya agar tak tersingkap.

Sepatu putihnya melewati jalanan setapak. Berjalan pelan dengan kepala tertunduk lesu. Layaknya tak mempunyai semangat hidup.

Tingkahnya itu membuat pria di sisinya mengerutkan kening heran. Matthew menatap Alana intens. Menilai ekspresi muram gadis di sampingnya.

"Na." Suara hangat Matthew memecah keheningan di antara mereka.

Alana mengangkat kepala, lalu menatap Matthew.  "Ya?"

Sorot mata sendu Alana membuat Matthew cemas. "Lo kenapa?"

"Gapapa."

"Kalau mau bohong, minimal kontrol ekspresi Lo, Na."

Alana menghela napas panjang lantaran tak bisa meyakinkan Matthew dengan jawaban bohongnya. "Sebenarnya gue sedih pisah sama anak-anak tadi. Gue masih pengen main sama mereka. Gue masih pengen dengar suara imut mereka. Gue masih pengen melihat tingkah menggemaskan mereka," curhatnya panjang lebar.

"Suka banget ya sama anak kecil?" Timpal Matthew.

"Gak juga. Biasanya sih gue cuek aja kalau ada bocil, tapi entah kenapa anak-anak tadi buat gue bahagia waktu berinteraksi sama mereka. Gue merasa waktu yang gue lewatin sama mereka tuh berharga banget."

"Padahal baru bertemu sebentar, tapi udah memberikan hati Lo buat mereka ya." Cetus Matthew sedangkan Alana manggut-manggut pelan. "Lain kali, mau ke sini lagi gak bareng gue?"

Alana mengangguk penuh semangat hingga pria itu mengulum senyum. Ia membuka pintu mobil untuk Alana kala sampai di parkiran. Setelah Alana masuk, ia kembali menutupnya dan berjalan mengitari mobil. Lalu, duduk di kursi pengemudi.

Mobil melaju pelan. Meninggalkan area taman. Dan, lagi-lagi keheningan mengambil alih.

Alana tampak sibuk melihat pemandangan di luar mobil sedangkan Matthew curi-curi pandang ke arah Alana.

"Btw Na, makasih udah bantuin gue. Berkat Lo, akhirnya gue bisa submit karya gue sebelum deadline."

"What? Lo udah selesai menggambar? Cepat banget. Pasti ahli banget ya dalam menggambar?!" Alana melongo kaget mendengar penuturan Matthew mengingat mereka bertemu tiga jam lalu.

Reaksi berlebihan Alana membuat Matthew mengusap tengkuk canggung. Antara malu, bahagia, dan berdebar. Mendapat pujian dari seseorang memang semenyenangkan itu. Apalagi mendapat pujian tentang sesuatu yang disukai.

"Mungkin karena udah terbiasa dikejar deadline, makanya gue bisa menyelesaikannya dalam waktu singkat, Na," jelas Matthew rendah hati.

"Tetap aja hebat. Boleh lihat hasilnya gak?"

Mata berbinar Alana membuat Matthew tak tega menolak. "Boleh."  Memberikan iPad nya ke Alana. Dimana hasil gambarnya tertera begitu jelas.

Seorang gadis berambut pendek tengah bermain bersama lima bocah cilik. Wajah semua orang di dalam gambar terlihat tertawa bahagia. Tampak sangat menikmati moment tersebut. Sederhana tapi sangat berkesan menurut Alana.

"Demi apa?! Ini gambar Lo?! Bagus banget kayak karya seniman ternama." Alana menatap Matthew kagum. "Boleh lihat gambar yang lain gak? Gue pengen lihat karya Lo yang lain." Pintanya bersemangat.

"Nanti gue tunjukin ke Lo. Kebetulan iPad ini baru. Jadi, belum ada file apapun di dalamnya."

"Ohh gitu."

"Kita makan malam dulu sebelum pulang. Lo mau makan apa, Na?" tanya Matthew tanpa memberi Alana kesempatan menolak.

"Terserah. Gue ngikut aja."

"Steak mau?"

Alana mengangguk.

"Oke."

"Btw, boleh pinjam Ipad Lo? Gue pengen nyoba menggambar juga," cengir Alana.

"Boleh. Pakai aja."

Alana mencari posisi ternyaman sebelum memakai iPad Matthew. Wajah cantiknya tampak sangat serius. Mencoba menggambar.

Alana sampai menaikkan kakinya ke atas tempat duduk saking gregetannya melihat gambarnya selalu gagal. Ia sedikit kaget kala Matthew tiba-tiba memberikan jaket.

"Tutupi kaki Lo pakai ini biar gak kedinginan," ujar Matthew sembari fokus menyetir.

"Okay! Thanks." Tanpa ambil pusing, Alana menerima pemberian Matthew. Menutupi paha mulusnya yang terekspos jelas karena memakai rok pendek. Menunjukkan hotpants pink yang senada dengan warna dress.

'Bentar, kayaknya gue melupakan hal penting.' Tangan Alana menggantung ketika pikiran random mendadak mengusiknya.

'gue lupain apa ya?' Berhenti menggambar seraya berpikir keras.

Cukup lama terdiam, akhirnya Alana teringat hal yang dia lupakan. Bibir tipisnya sedikit terbuka. Terkejut mengingat fakta tersebut.

'stalker kan juga suka melukis!!'

Tanpa sadar, Alana melirik Matthew penuh selidik.

'jangan-jangan dia stalkernya?'

Alana menggeleng kuat.

'ah, gak mungkin lah! Stalker itu nyeremin sedangkan dia selalu buat gue nyaman. Dia gak pernah menunjukkan tingkah mencurigakan.'

'pasti kebetulan aja.' pikirnya lagi. Kemudian, manggut-manggut pelan sebelum melanjutkan gambar randomnya.

Alana terus menggambar hingga matanya terasa memberat. Ia menurunkan kedua kakinya, meletakkan ipad di atas pangkuan, dan menyandarkan kepala ke jok mobil.

"Ngantuk, Na?" Matthew yang melihat gerak gerik Alana sedari tadi tersenyum geli. Menurutnya tingkah Alana sangat menggemaskan. Lebih menggemaskan daripada anak-anak tadi.

"Iya."

"Tidur aja. Ntar gue bangunin kalau udah sampai."

"Oke."

Alana lantas memejamkan mata. Berniat tidur. Mengistirahatkan matanya yang lelah menatap layar iPad. Hampir saja tertidur pulas jika saja alarm siaga tak berbunyi di dalam otaknya. Memberikan sinyal peringatan agar tidak tertidur di dalam mobil seorang pria.

Mata sipit Alana yang tadinya terpejam sempurna kini mendadak terbuka.

"Lah, kenapa gak jadi tidur?" Heran Matthew.

"Nanggung." Mana mungkin Alana menjawab takut diapa-apain oleh Matthew saat tidur. Bisa-bisa nanti Matthew mengiranya sosok narsistik.

Alana membuka jendela mobil. Membiarkan angin membelai wajahnya. Mengusir rasa kantuk sambil melihat kondisi di sekitar.

"Matt," panggil Alana tiba-tiba.

"Iya, Na."

Alana beralih menatap Matthew. "Belakangan ini, Lo pernah mengalami mimpi buruk gak?"

"Gak pernah. Kenapa emangnya, Na?"

Alana menggigit bibir bawahnya ragu. "Cuma nanya aja."

Bersambung...

Tembus 100 komen, ku kasih triple up ><

16/8/24

Written: firza532

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang