Vote sebelum baca 🌟
Matahari perlahan terbenam di ufuk barat. Langit biru berubah warna menjadi gradasi indah. Kuning, oranye, merah, dan jingga bersatu padu menciptakan harmoni. Cahayanya memancar indah melewati awan-awan tipis yang berbaris rapi seperti prajurit.
Di bawah langit senja, alunan musik mengalun pelan di dalam cafe. Menghantarkan kedamaian dan ketentraman jiwa bagi pendengarnya.
Pemandangan indah dan suasana damai menjadi penutup hari melelahkan Alana.Semua permasalahan hidup lenyap dalam dekapan senja. Rasa lelah hilang seiring berlalunya senja. Bak butiran debu tersapu angin.
Dentingan sendok bertemu permukaan piring terdengar samar. Perut kosong telah terisi penuh.
Alana menyeruput es teh hingga tandas. Menyisakan gelas terisi beberapa bongkahan es batu.
Dahaga dan laparnya telah terpuaskan.
Kini, saatnya Alana meninggalkan cafe. Kembali ke rumah. Tempat ternyaman di dunia. Dimana pahlawan dan malaikat tanpa sayap menetap di dalamnya.
Kebisingan kembali mengambil alih kala motor Alana memasuki jalan raya. Di bawah langit yang mulai menggelap, motornya terus melaju. Membelah jalanan tanpa ragu.
Bangunan demi bangunan terlewati. Dari satu titik lampu merah, ke titik lampu merah lain.
Saat komplek perumahan sudah berada di depan mata, si putih mulai berulah. Motor Alana mati mendadak. Berulang kali mencoba menghidupkan, berakhir sia-sia.
Mood yang tadinya tersusun rapi kini hancur berantakan.
Alana menghela napas panjang. Mendongak, menatap langit seolah tengah mengadu pada sang pencipta.
"Alana!"
Panggilan seseorang mengalihkan perhatian Alana.
Wajah lesu itu seketika berubah cerah bagaikan bulan purnama.
"Papa!!"
Suara lembutnya terdengar begitu riang dan ceria melihat sosok pria paruh baya. Tampak begitu jelas gurat lelah di wajah sosok itu. Sosok yang telah menjadi pahlawannya sejak kecil. Sosok yang selalu membantu Alana saat tertimpa masalah.
"Motor Lana mati mendadak, pa." Adunya lesu.
"Mungkin bensinnya abis kali, Na."
Iris hazelnya membola kaget. Teringat sesuatu. Berakhir menepuk jidat. Gemas dengan sifat pelupanya.
"Iya, pa. Aku lupa ngisi bensin. Pantesan aja motor aku mati."
"Ada-ada aja kamu. Bawa motor tapi gak diisi bensinnya. Kalau motor bisa berbicara, pasti udah protes."
Gadis berkuncir kuda itu menyengir lucu sembari menuntun si putih ke tepi jalan.
"Tunggu bentar, papa telpon dulu Udin biar dibawain bensinnya ke sini." Tanpa buang-buang waktu, segera menghubungi kenalannya. Sementara Alana menunggu di jok motor.
Mobil Papa juga turut menepi. Sosok itu keluar dari mobil. Menghampiri Alana.
"Tumben papa cepat pulang? Udah selesai ya masa sibuknya?" tanya Alana penuh semangat. Membuktikan betapa bahagianya dia.
"Belum. Papa masih sibuk, tapi malam ini papa nekat bawa pekerjaan pulang meskipun gak tau akhirnya dikerjain atau gak."
Sosok itu menatap Alana penuh kasih sayang sembari mengusap puncak kepala Alana. "Papa gak sanggup rasanya bekerja terus. Papa kangen sama kamu dan mama. Papa kangen ngobrol sama kalian."
Alana mengulum senyum. Berbunga-bunga mengetahui bahwa papa masih menyayanginya. "Aku juga kangen sama papa. Belakangan ini, aku jarang banget lihat papa. Papa selalu pergi sebelum aku bangun dan pulang setelah aku tidur. Tau gak sih, pa? Kesibukan papa itu melebihi kesibukan presiden."
"Haha, maklumin aja, Na. Tim papa sedang mengerjakan proyek besar."
"Kapan selesainya, pa?"
"Sebentar lagi selesai kok. Dua Minggu lagi hasil proyek tim papa bakal diluncurkan."
"Wah, jadi gak sabar. Kali ini tim papa buat apa?"
Papa Alana bekerja di salah satu perusahaan kosmetik terbesar di Indonesia. Produk perusahaan selalu terjual habis. Tanpa promosi besar-besaran pun, produk tetap laku keras di pasaran.
"Rahasia haha."
"Ih, papa pelit."
"Papa cuma berusaha meminimalisir kebocoran informasi produk, sayang."
"Jadi, papa gak percaya sama Lana?" Tandas Alana pura-pura kesal.
Papa mengacak gemas puncak kepala Alana. "Bukannya gak percaya. Papa antisipasi aja. Siapa tahu nanti kamu gak sengaja cerita ke Bulan."
"Iya sih. Kadang Lana suka keceplosan kalau cerita ke Bulan." Cengir Alana sadar diri.
Obrolan mereka terhenti ketika Pak Udin datang dengan membawa sebotol bahan bakar.
Alana buru-buru turun dari motor. Sedikit tak rela berhenti mengobrol dengan papa.
Setelah sekian lama, akhirnya Alana bisa puas melihat papa. Melihat kulit yang perlahan mengeriput. Melihat wajah teduh nan menenangkan. Mendengar suara berat nan lembut. Merasakan sentuhan penuh kasih sayang.
Jujur, sempat terlintas pemikiran buruk di benak Alana. Takut terlupakan. Takut terabaikan. Takut ditinggalkan
Namun, untunglah ketakutannya tak terjadi. Sosok papanya masih sama. Papa yang perhatian dan penyayang.
Dalam keheningan, interaksi ayah dan anak perempuan itu tak luput dari pengawasan seseorang.
Pemandangan itu membuatnya iri. Iri melihat betapa dekatnya kedua orang itu. Sementara dirinya telah kehilangan sosok ayah.
Bukan kehilangan dalam artian sebenarnya karena nyatanya sosok itu masih hidup dan tertawa bahagia di Sydney bersama orang baru, keluarga baru.
Keluarga baru yang tidak ada dirinya. Seolah dirinya hanya bagian masa lalu. Masa lalu yang layak ditinggalkan dan dilupakan.
Ah, sial!
Sosok melankolis telah menguasainya.
Huh, Alana memang selalu berhasil mengubahnya menjadi sosok melankolis.
Kehidupan Alana terlalu indah seperti dongeng. Dicintai kedua orangtua. Diperlakukan bak barang berharga. Memiliki keluarga lengkap, hangat, dan harmonis. Sedangkan kehidupannya suram seperti pemakaman.
Itulah salah satu alasan dia begitu tertarik mengikuti Alana.
Dengan melihat kehidupan Alana, dia dapat merasakan kebahagiaan yang telah lama menjauh dari kehidupannya.
"Andaikan aku bisa menyusup masuk ke dalam hidupmu, kitten. Menjadi bagian dari kehidupan indahmu."
Bersambung...
Komen kalian penyemangat updateku! ><
Kuy spam komen di sini👉👉
KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER
Teen FictionKehidupan tenang Alana perlahan terganggu oleh kehadiran seorang stalker. Membayangi kehidupannya siang dan malam. Menjajah mimpi-mimpinya. Menanamkan keresahan di setiap langkahnya. Siapakah pria yang menjadi stalkernya? Apa alasan pria itu mengang...