Part 17

7.2K 608 117
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Woaaahh, sorry baru up. Baru selesai meriksa nilai aku😵

Angin sepoi-sepoi menerpa lembut wajah cantik Alana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Angin sepoi-sepoi menerpa lembut wajah cantik Alana. Menghantarkan perasaan nyaman ke dalam diri Alana. Berakhir menyandarkan kepala di sandaran bangku taman.

Matanya terpejam. Menahan rasa sakit di siku dalam keheningan. Lukanya yang ternganga lebar tak kunjung dia obati.

Daripada segera mengobati lukanya, Alana malah lebih tertarik beristirahat di taman kampus. Membiarkan luka mengering dengan sendirinya. Meski membutuhkan waktu lama mengingat sikunya masih mengeluarkan darah segar.

Ketenangan dan kedamaian yang dia rasakan perlahan terganggu oleh kehadiran seseorang. Matanya langsung terbuka lebar merasakan seseorang duduk di sampingnya. Ia refleks memperbaiki posisi duduknya.

Jantung Alana berdebar kencang melihat sosok pria di sampingnya. Seorang lelaki berambut pirang dan bertubuh tinggi kekar. Ia bahkan sedikit beringsut menjauh akibat merasa terintimidasi oleh keberadaan lelaki tersebut.

"Sorry ngagetin Lo. Boleh 'kan gue duduk di sini?" tanya si pria ramah. Menurunkan sedikit kewaspadaan Alana. Tatapan teduh dan gerak gerik normal pria itu membuat pikiran negatif Alana lenyap seolah terbawa angin.

"Iya, boleh." Alana menyahut tak kalah ramah.

"Sebelumnya, gue minta maaf kalau terkesan ikut campur. Dari tadi gue perhatiin, tangan Lo terluka. Kenapa gak diobatin?"

"Gue males beli obat," jawab Alana seadanya.

"Kebetulan dalam tas gue ada obat, boleh gue obatin tangan Lo?"

Alana menatap lurus sosok di sampingnya. Mereka baru pertama kali berbicara, tetapi pria itu sudah menunjukkan perhatian padanya.

'Mungkinkah dia stalkernya?' pikir Alana.

Melihat Alana terdiam, pria itu melanjutkan ucapannya. "Takutnya nanti luka Lo makin parah loh kalau gak segera diobatin. Tenang aja. Gue bakal pelan-pelan pas ngobatinnya."

Alana menyipitkan mata curiga. "Lo kenal gue?"

"Hah?"

"Maksud gue, perhatian banget Lo sama orang asing. Sampai nawarin ngobatin segala. Emang kita saling kenal?"

Pria itu tertawa renyah. "Memangnya nolongin orang harus kenal dulu? Berarti kalau gue lihat orang asing kecelakaan, gak usah gue tolongin? Gue abaikan aja gitu? Biarin dia mati dengan sendirinya?"

Alana menggaruk pipi canggung. "Gak gitu maksud gue."

"Haha. Iya. Gue paham. Kalau Lo ragu ditolong orang asing, kita kan bisa kenalan sekarang. Nama gue Matthew. Panggil aja Matt. Nama Lo siapa?"

"Alana."

"Oke, Alana. Kita udah kenal kan. Berarti sekarang gue boleh nolongin Lo? Siniin tangan Lo, gue udah gregetan banget pengen ngobatin dari tadi."

"Gak usah. Gue bisa ngobatin sendiri pas di rumah."

"Terus sekarang Lo mau biarin gitu aja luka Lo? Gak takut infeksi? Udah deh. Lo tenang aja. Gue obatinnya pelan-pelan kok."

Alana menyodorkan tangannya ragu-ragu. Tidak enak hati menolak perkataan Matthew.

"Lihat nih. Darahnya aja masih ngalir. Habis ngapain sih sampai terluka kayak gini?"

'Cerewet juga nih orang' batin Alana.

"Tadi malam gue jatuh dari motor."

"Pantesan. Keras banget ya jatuhnya?"

"Iya."

"Lain kali hati-hati bawa motornya. Masih mending Lo cuma luka di siku, gimana kalau Lo patah tulang atau bahkan koma?"

Alana mencebik pelan mendengar ceramahan pria tersebut. "Gue udah hati-hati kok, tapi orang lain yang gak hati-hati. Dia nerobos lampu merah dan nabrak gue. Udah gitu, gue disalahin dan dimarahin sama dia. Nyebelin banget gak tuh?"

Matthew menggeleng miris. "Selalu ada aja ya orang egois kayak dia dan merugikan orang lain."

Alana mengangguk, menyetujui pernyataan Matthew. "Jujur, baru kali ini gue nemu orang kayak gitu. Cukup satu kali aja deh gue ketemu manusia spesies kek dia."

"Selama Lo bawa motor, pasti ada aja ketemu orang kayak gitu, Na. Lain kali lawan aja orangnya biar dia tobat."

"Gimana kalau lawannya orang tua?"

"Ya, lawan aja biar dia gak semena-mena lagi."

"Nanti dikatain durhaka dong."

"Gapapa. Kan salah dia duluan." Kekeh Matthew.

"Nah, udah selesai. Gak sakit 'kan?"

Alana mengerjap kaget. Terlalu asik mengobrol membuatnya tidak sadar bahwa lukanya sudah terobati dengan sempurna.

"Hooh. Bahkan gak terasa sedikitpun pas Lo ngobatin luka gue. Makasih, Matthew."

Matthew tersenyum sebagai balasan.

"Btw, Lo jurusan apa, Na?"

"Bahasa Indonesia."

"Ohh, Bahasa Indo. Gue DKV. Pasti enak ya kuliah Bahasa Indonesia?"

"Enak gak enak sih." Alana mengayunkan kakinya pelan.

"Gue pengen masuk jurusan Bahasa Indonesia loh. Gue rasa, jurusan Lo lebih mudah dibanding jurusan gue."

"Eitss, jangan salah. Jurusan gue itu rumit banget loh. Dari luar emang kelihatan mudah, tapi pas menyelam lebih jauh, ternyata susah banget." Bantah Alana tak terima.

"Oh ya? Emang serumit apa?" tanya Matthew tertarik.

"Dalam bayangan kita, Bahasa Indonesia cuma sekedar pengertian teks prosedur atau teks sejenisnya 'kan? Nyatanya, di dunia kuliah, dibahas juga fonologi, morfologi, dan segala tetek bengeknya. Ribet banget pokoknya."

Matthew manggut-manggut pelan. "Ternyata sama aja kek jurusan gue. Ribet banget."

"Kayaknya gak ada yang mudah kalau udah memasuki bangku kuliah."

Matthew mengangguk setuju.

"Btw, boleh gue minta nomor Lo? Kayaknya seru kalau punya banyak teman dari berbagai jurusan."

"Boleh."

Alana mengambil ponsel yang disodorkan Matthew dan mengetikkan nomornya.

"Makasih, Alana." Matthew melirik jam di tangannya. "Gue duluan ya. Ada kerja kelompok soalnya."

"Oke. Sekali lagi makasih ya udah ngobatin gue."

"Iya, sama-sama. Kotak obatnya buat Lo aja. Jangan lupa obatin lagi pas di rumah biar nanti luka Lo cepat sembuh."

"Sipp."

Alana menatap lekat kepergian Matthew hingga sosok itu menghilang sepenuhnya.

Ia menepuk pipinya gemas. Mengusir pemikiran yang sempat singgah di otaknya.

"Gak mungkin dia stalkernya. Ngapain dia repot-repot minta nomor gue kalau dia stalkernya? Secara dia pasti udah punya nomor gue. Selain itu, dia gak mencurigakan kayak Lucas dan Sean."

Alana menyimpan kotak obat pemberian Matthew ke dalam tas. Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas mengingat sifat Matthew. "Ternyata masih ada ya cowok baik dan peka di zaman sekarang."

Bersambung...

12/6/2024

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang