Vote sebelum baca 🌟
Wajah tampan Matthew menyiratkan kekesalan mendalam akibat melihat wajah ceria Alana.
Alana tertawa bahagia bersama banyak orang. Tak merasa kehilangannya sedikitpun.
Alana memegang ponsel, tapi tidak mengabarinya.
Alana bermain bersama anak panti asuhan, tapi tidak bisa mengirimkan satu pesan pun kepadanya.
Gadis itu benar-benar telah melupakannya.
Apakah perkiraannya salah?
Mungkinkah dia terlalu percaya diri menebak perasaan Alana?
Mungkinkah Alana hanya menganggapnya sebagai teman baik?
Tidak! Tidak!
Matthew yakin Alana menyukainya karena sering melihat pipi Alana memerah ataupun salah tingkah saat dia goda.
Matthew mengacak rambut frustasi. Terus mengikuti Alana dengan perasaan dongkol di dalam hati hingga Alana berhenti di sebuah supermarket. Ia mengikuti Alana ke dalam.
Gadis berpakaian serba hitam itu mendorong sebuah troli. Memasukan berbagai macam bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga lainnya ke dalam troli. Tak sadar diikuti oleh dirinya.
Matthew menarik napas dalam-dalam. Menetralkan raut wajahnya. Mengembalikan wajah tenangnya supaya Alana tidak ketakutan. Dengan alami, ia mengekori Alana dan memanggil. "Alana."
Alana berhenti mendorong troli belanjaan mendengar namanya dipanggil dari belakang. Matanya membola kaget melihat sosok Matthew berdiri di belakangnya. Terkejut atas kemunculan mendadak pria tersebut.
"Kenapa Lo pulang tanpa mengabari gue, Na?" Matthew bertanya sok penasaran sedangkan Alana meringis. Terlihat merasa bersalah.
"Maaf. Gue panik banget waktu itu. Mama bilang papa sakit. Jadi, gue langsung pulang tanpa sempat memikirkan hal lain. Pikiran gue tertuju ke papa doang."
Matthew mengulum senyum melihat wajah panik Alana. "Beneran?"
"Iyalah. Buat apa gue bohong sama Lo?"
"Gue pikir Lo menghindari gue."
"Gaklah. Ngapain gue menghindari Lo."
"Karena pernyataan gue, mungkin?"
Alana menggaruk pipi canggung. Lantas, segera mengalihkan pembicaraan sebelum perasaannya dikuliti lebih jauh. "Btw, kapan pulang, Matt?"
"Kemarin."
"Cepat banget pulangnya? Kan liburan masih panjang?"
Matthew menatap Alana penuh arti. "Males. Soalnya orang yang gue suka gak ada di sana."
Alana berpura-pura tak mendengar dan sok sibuk mengambil barang di rak.
Matthew tertawa kecil. Tingkah Alana-nya sangat menggemaskan saat salah tingkah. Oh astaga! Lihatlah pipi merah Alana. Merona seperti mawar merah.
"Biar gue dorong." Mengambil alih troli yang dibawa Alana.
"Gak usah. Gue gak mau ngerepotin Lo."
"Gue aja, Na. Lo tinggal masukin semua barang yang pengen dibeli."
"Ya udah deh." Alana menatap Matthew heran. "Emang Lo gak belanja?"
"Gak. Gue masuk ke sini karena gak sengaja lihat Lo."
Alana ber-oh ria. "Nanti kalau capek dorongnya, oper ke gue, oke?"
"Lo pikir gue selemah itu?" Desah Matthew gemas. Dibalas cengiran oleh Alana.
Keduanya berjalan berdampingan. Menyusuri lorong demi lorong. Mengambil semua hal penarik perhatian. Layaknya pasutri baru.
Beberapa pengunjung tampak menatap mereka iri karena keduanya tampak sangat serasi dan harmonis. Berharap suatu saat nanti juga diberikan pasangan seperti Matthew. Mau menemani belanja dan mendorong troli belanjaan.
"Sayang, mau beli ini juga gak?"
Alana menoleh kaget ke Matthew.
'Sayang?' beonya dalam hati.
Lalu, manggut-manggut pelan melihat Matthew menunjukkan sabun cair bernama Sayang.
Memalukan!
Ia pikir Matthew memanggilnya, ternyata malah sedang menyebut nama sabun cuci pakaian.
"Boleh deh. Gue penasaran sama aromanya. Kata orang sih aromanya wangi dan tahan lama," jawab Alana kemudian.
"Okey."
Matthew memasukkan Sabun Sayang ke dalam troli sembari menahan tawa melihat ekspresi malu Alana.
Kembali mendorong troli. Menuju rak makanan ringan.
Matthew menaikkan alis melihat Alana melewatkan cemilan serba cokelat. Memilih cemilan serba keripik. "Tumben gak beli cokelat?"
"Takut diabetes. Mulai sekarang, gue mau mengurangi makanan manis-manis."
Mereka berpindah ke bagian buah.
Alana mengambil berbagai macam buah hingga troli langsung penuh.
"Udah semua, Na?"
"Udah, gue mau bayar lagi." Alana hendak mengambil alih troli tapi Matthew melarang.
"Gak usah. Biar gue yang ngantri bayar. Lo tunggu aja di luar sambil makan es krim."
"Astaga! Yang benar aja. Masa Lo yang ngantri. Ini kan belanjaan gue."
"Gapapa, Na."
"Masalahnya gue gak bawa banyak uang cash Matt. Jadi, biar gue aja yang ngantri."
"Pakai duit gue aja."
"Gak mau. Nanti Lo gak mau ngambil uang gue."
Terbiasa ditraktir membuat Alana sadar bahwa Matthew terlalu royal.
Setiap kali mereka keluar bersama, Matthew selalu membayar makanan, minuman, tiket, dan segala hal yang diinginkan Alana.
Matthew bahkan tak segan-segan mengeluarkan uang puluhan juta untuk mentraktirnya. Sungguh membuatnya merasa terbebani. Aneh bukan?
Di saat orang lain senang mendapatkan traktiran, Alana malah terbebani karena merasa berhutang Budi.
Bersambung....
16/9/24
Tembus 200 komen, langsung ku update part terakhir cerita Stalker💃 {dilarang komen kata yg ga ada maknanya!}
Hayoo!! Coba tebak gimana endingnyaa
KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER
Teen FictionKehidupan tenang Alana perlahan terganggu oleh kehadiran seorang stalker. Membayangi kehidupannya siang dan malam. Menjajah mimpi-mimpinya. Menanamkan keresahan di setiap langkahnya. Siapakah pria yang menjadi stalkernya? Apa alasan pria itu mengang...