Malam hari tiba. Kejadian tadi siang membuat Salsa hanya berdiam diri dikamarnya. Salsa harus membuat keputusan yang tegas. Tapi kalaupun Salsa tetap mau cerai, pasti kedua orang tuanya tak akan mendukung, karena Salsa sedang hamil anak Lian, jadi mana bisa cerai.
Salsa membuka jendela nya lebar, Salsa duduk dibingkai jendela sembari menghirup udara malam yang sejuk. Salsa jadi merindukan kamarnya yang dirumah Lian, disana ada balkon kecil yang nyaman untuk menyendiri. Sedangkan dikamar Salsa yang ini hanya ada jendela yang kecil.
Ponsel Salsa berdering nyaring, membuat Salsa berdecak. Dengan malas Salsa berjalan kedalam kamar nya untuk mengambil ponsel di meja rias nya. Salsa asal mengangkat telfon tanpa melihat nama penelfon.
Salsa segera duduk kembali dibingkai jendela. Dibawah jendela itu ada balkon dari pintu kamar orang tua nya, Salsa bisa saja melompat kebawah tapi Salsa malas karena itu bukan balkon pribadinya.
Salsa pun menaruh ponsel ditelinganya.
"Halo, Caca."
Salsa terpaku beberapa detik. Suara nya membuat dada Salsa sesak.
"I-iya?" jawab Salsa mencoba biasa saja.
"Maafin gue Sal, maaf maaf maaf."
Salsa menitikkan air mata nya mendengar suara Aro, Salsa berusaha menahan isakannya. Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum mengeluarkan suara, agar suaranya tidak bergetar.
"Aro?"
"Maaf Sal maaf. Ini semua garagara cewe gila itu!" Aro emosi.
"Gapapa kok. Kenapa sama Bella?" tanya Salsa dengan suara bergetar, sudah tak bisa ia tutupi lagi.
"Semua terbongkar karna cewe gila itu Sal, gue ngga terima!"
"Ssttt, jangan dendam." peringat Salsa, karena Salsa pun tak pernah menyimpan dendam kepada Lian, Salsa tak suka orang pendendam.
"Gue bener bener benci banget sama Bella," kata Aro kesal.
"Aku mohon jangan dendam! Aku ngga suka orang pendendam."
"Huft! Oke, demi Caca lo," ucap Aro menghembuskan nafas nya.
"Hiks..." Salsa tak bisa lagi menahan isakan tangis nya, mendengar suara Aro saja membuat hatinya sakit. Salsa menutup mulutnya rapat, mulutnya memang tidak bisa diajak kompromi.
"Caca nangis?" tanya Aro melembut.
Salsa diam.
"Sal? Maafin gue," ucap Aro lembut.
"Ngga, Aro. Aku kangen.. hiks," ujar Salsa. Salsa ingin bertemu Aro sekarang, ia rindu jalan-jalan bersama Aro.
"Gue juga kangen banget mel. Tapi maaf ya, mulai sekarang kita ngga usah ketemu lagi." nada Aro seperti tertekan harus mengucapkan kalimat itu, pasti menyakitkan bagi Salsa.
"Tapi kenapa? Kita bisa jadi sahabat baik Aro. Aro ngga boleh pergi ninggalin aku!" desis Salsa dengan air mata semakin pecah. Meski tak bisa bersatu, tapi setidaknya jadi sahabat baik.
"Mungkin ini terakhir kali nya kita contact an," ujar Aro menghela nafas. "Dengerin baik-baik ya Sal, aku mau ngomong semua nya," lanjutnya.
"Gue mau lo lupain tentang kita, Ikhlasin semua nya."
Salsa menutup mulutnya tak percaya ketika Aro mengatakan seperti itu.
"Terimakasih pernah jadi wanita terbaik dalam hidup gue. Nama lo selalu dihati gue."
Ucapan Aro bagaikan petir bagi Salsa. Tangis Salsa semakin menjadi mendenger ucapan Aro.
Disebrang sana, Aro pun mengeluarkan air mata nya. Hati nya benar benar sakit harus mengatakan ini. Aro sungguh tak mau mengatakan ini semua, tapi harus, agar Salsa tak berharap lagi. Aro juga harus pergi ke Amerika, jadi ia hanya berpamitan untuk terakhir kalinya lewat telepon.