SALJU PERTAMA

1.4K 105 10
                                    

Keduanya saling bertatapan, mereka terpaku pada satu sama lain. Suasana yang canggung menjerat mereka, seakan melarang untuk saling mendekati. 

Ya, mereka hanya diam. Terpaku pada satu sama lain, bahkan ekspresi masing-masing orang tidak menentu sama sekali.

Langit malam yang tenang, bintang-bintang bertaburan. Tapi, kenapa rasanya ada yang aneh? Entah sejak kapan, pandangan mereka dihiasi serbuk-serbuk putih, turun perlahan dalam jumlah yang tidak begitu banyak.

Salju pertama turun lebih awal dari tahun lalu, mengantarkan getaran duka dari hari terdalam karena cinta. Entah cinta seperti apa yang akan meledak antara dua anak manusia itu, yang jelas efeknya begitu hebat sampai mereka terbungkam.

Cinta ...

Satu kata yang menebar duka dengan balutan bahagia, kata abstrak yang punya banyak arti.

Cinta ...

Susunan dari huruf mengerikan, tapi ironisnya juga cinta menjadi terbaca sebagai kata ‘egois’ untuk yang merasakannya.

Cinta ...

Perasaan yang menggebu, mengikis sepi menjadi runcing layaknya tombak, lalu mengasah bilah hari sampai tajam seperti pisau.

Grand Duke tersadar karena hal itu, ia menghela napas lalu melangkah ke arah jembatan kecil yang menjadi penghubung. Langkah besar pria itu membuahkan hasil, dalam sekejap ia sudah berdiri di hadapan Luisa, wanita tercintanya yang masih terpaku tanpa bergerak sedikit pun.

Tangan Grand Duke meraih tubuh Luisa, merengkuhnya erat, dan memejamkan mata guna menenangkan detak jantungnya yang cepat. Luisa ada di dalam dekapannya, wanita itu tidak memberontak.

Suara gemercik air mancur terdengar ribut, seakan bersorak pada keadaan kedua insan itu sekarang. Deru angin yang berembus kencang menghantam raga keduanya, dingin menusuk ... Membekukan tulang-tulang mereka.

“Maafkan aku ... sungguh, aku benar-benar tak tahu harus mengatakan apa lagi.” Suara berat Grand Duke memecahkan sunyi yang tercipta. “Luisa, aku benar-benar egois. Maafkan aku, cintaku, masa depanku.”

Luisa yang mendengar ucapan Grand Duke diam, ia tidak memberontak sama sekali. Tapi, pada satu sisi ia juga merasa berat membalas dekapan pria itu.

Ingatannya melayang pada kejadian saat Grand Duke bersimpuh, pria itu bersumpah demi dirinya. Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana dia bisa menghadapi cinta sang kekasih yang begitu besar?

Dia terjebak, terjatuh dengan mengenaskan. Ia merasakan kesedihan mendalam, sampai kesedihan dan rasa bersalah mencekiknya.

“Aku benar-benar mencintaimu, aku ingin egois dan memilikimu. Maafkan aku, maaf karena aku melakukan hal yang tidak kau sukai. Tapi, jika aku tidak melakukannya, Duke Montpensier akan meragukanku. Luisa, tolong ... tolong jawab aku. Kau boleh memaki, kau boleh memukulku. Tapi tolong jangan hanya diam! Jika aku bersalah, katakan. Aku mohon ....” Grand Duke terus dan terus mengucapkan kata yang ada di ujung lidahnya, ia merasa sangat cemas karena wanita itu hanya diam.

Luisa merasa hatinya makin tertusuk, ia tak mengerti kenapa pria itu harus memohon kata maaf darinya. Pria itu tidak bersalah, pria itu hanya berjuang akan cinta yang dirasa. Hanya saja ... dirinya yang bersalah! Ia tak sanggup menanggung perasaan cinta yang sungguh besar dan mulia.

Pria itu, Grand Duke, sang pangeran yang kini sudah mematahkan sayapnya sendiri, lalu diserahkan kepada seorang wanita.

“Kenapa ... kenapa harus padaku? Aku ....” Luisa tak bisa lagi berkata. Ucapan itu bahkan ia suarakan dengan suara lirih yang begitu pelan. Lebih kecil daripada bisikan, bahkan terasa pilu lebih dari kematian.

“A-apa?” Grand Duke yang nyaris tak mendengar beritanya. Pria tersebut berharap Luisa mengatakannya lebih jelas.

Namun, Luisa diam. Wanita itu seakan membeku, tenggelam dalam tangisnya dengan tubuh bergetar.

Tapi, segera saja pria itu melepas pelukannya. Menatap Luisa, beradu pandang dengan wanita yang paling ia cintai. “Luisa, aku mohon bicaralah.”

Luisa tak tahan, bisa ia lihat iris sebiru safir itu bergetar. Mata pria di hadapannya sudah berkaca-kaca, air di dalam sana siap meluncur kapan saja. Tangan wanita itu terangkat, ia mengelus pipi Grand Duke dengan lembut.

Miris ...

Itulah rasa yang terus mencakar jantung Luisa. Ia tak percaya membuat pria itu terjebak dalam cinta yang dalam, ia kira pria tersebut tidak akan pernah merasakan cinta sedalam itu kepada wanita sepertinya.

“Kenapa kau mencintaiku?”

Grand Duke menelan ludahnya. “Apa cinta memerlukan alasan? Aku hanya tahu jika aku mencintaimu. Aku tak punya alasan, Luisa Montpensier. Cinta ini sudah membuatku bertahan dalam segenggam harapan, kini aku memberikan napasku padamu. Aku mencintaimu tanpa syarat, aku bahkan bingung kenapa bisa bersumpah hanya untukmu. Jika cinta itu punya mata, maka mata pada rasa cintaku sudah buta.”

Luisa diam, tak tahu harus berkata seperti apa lagi. Pada satu sisi ia bahagia, tapi pada sisi yang lain?

Entahlah!

Grand Duke meraih tangan Luisa, menahannya agar tetap ada di bagian pipi. Ia merasa kacau karena bibir wanita itu tidak juga terbuka, merasa patah dengan tatapan yang teduh dan tak menentu. Iris amber Luisa membakar hatinya, membuat tubuhnya terasa bagai dicabik-cabik dengan kekecewaan sang kekasih.

“Lauren,” ucap Luisa pada akhirnya. Suaranya lembut, dengan intonasi yang rendah. Sedikit gemetar, serat akan rasa sedih karena rasa bersalah. “Dengan apa aku bisa membalas cinta yang kau berikan? Itu terlalu besar! Aku ... aku takut tak bisa membalasnya. Aku gemetar, aku benar-benar takut.”

“Maafkan aku,” balas Grand Duke. Matanya terpejam, menikmati halusnya sentuhan tangan Luisa. “Maaf jika cintaku yang besar menjadi beban untukmu, tapi, aku tak bisa berbohong pada perasaanku. Aku merasa selalu ingin egois atas dirimu. Aku tak tahu kenapa ini bisa terjadi, aku hanya tahu jika aku merasa mati saat berpikir kau akan jauh dariku.”

Dalam hatinya Luisa mengutuk. Cinta yang Grand Duke berikan begitu mengerikan, menjadi beban yang bahkan tak tahu kapan akan terasa ringan. Ia selalu berpikir jika pria itu bisa saja menyesal, itulah ketakutan terbesar dalam hati Luisa.

“Aku sungguh mencintaimu, aku tak pernah seserius ini dalam hidupku. Izinkan aku mencintai, menyayangi, dan memilikimu. Luisa ... apa aku terlalu memaksa?”

Wanita itu membuang muka, hatinya gemetar.

“Tatap aku, jika kau tidak mencintaiku lagi, maka katakan dengan jelas. Aku tidak akan memaksa, walau aku harus sendirian dan terus mencintaimu.”

Luisa menatap lebih dalam, bibirnya kelu. Ia menggigit bibirnya saat Grand Duke memberikan senyum, ia merasa kehilangan kewarasannya kala pria itu mengukir raut sedih.

Jantungnya berdegup kencang, hatinya bergetar sangat hebat. Ia juga mencintai Grand Duke, ia menginginkan pria itu lebih dari apa pun.

“Luisa ....”

“Aku ... apakah aku bisa meminta satu hal?”

Mata Grand Duke berbinar. “Katakan! Katakan apa yang kau inginkan.”

Luisa menatap tajam, ia menyiapkan diri untuk mengatakan keinginannya. Wanita itu menarik napas perlahan, dan ia pun berucap dengan suara pelan sambil menundukkan kepada.

••••

Note : 😭 kamu mau apa toh ndok ... ndok ... kok malah gantung 😮

The Duke's daughter's revisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang