Mulmed: Steve Boy Hilton
Banyak orang yang berpikir segala macam kejadian pertemuan itu dikatakan kebetulan. Namun, aku justru lebih berharap itu sebuah takdir. - Immanuel Christ Hito
---Dena membuka pintu rumahnya dengan langkah pelan, ia melirik seisi rumah yang terlihat sepi tersebut. Dipikirannya terbesit mengingat kalau Mamanya siang ini masih sibuk bekerja di Bank, sedangkan kakaknya? Sudah dua hari ini cowok itu tidak menapakkan kaki di rumah, di sekolah pun ia jarang bertemu, entah kemana perginya namun Dena anggap itu hal biasa yang sudah pernah terjadi. Di rumah ia sering sendirian, kesepian dan hanya ditemani ponsel, televisi, laptop, dan cemilan yang ia simpan di kulkas.
Ia kini melempar tas ranselnya ke sofa ruang TV, lalu dipindahkannya beban tubuhnya pada sofa empuk berwarna cokelat itu. Dena menengadahkan kepalanya di punggung sofa sambil memejamkan mata. Terdengar hembusan panjang napas cewek itu. Matanya terbuka lagi saat handphone-nya bergetar di saku rok, lalu dirogohnya benda canggih itu dan terlihat nama 'Vano Ganteng' sedang menelfonnya. Ia tersenyum miring sebentar karena merasa tidak mengganti nama kontak kakaknya itu dan berpikir pasti Vano sendirilah yang mengganti nama itu menjadi nama yang menurutnya menggelikan, siapa lagi? Lalu digesernya lambang hijau dan ditempelkannya ponsel itu di telinganya.
"Kenapa, kak? Lo dimana?"
"Di rumah temen. Lo udah pulang?"
"Udah. Kapan lo pulang?"
"Ya udah, sekarang gue otw."
Klik. Begitu saja singkatnya Vano menelfon adiknya hanya untuk menanyakan apakah dia ada di rumah atau tidak, dan cowok itu pun katanya segera menuju rumah setelah lama tak kembali.
Dena mengambil remot TV yang ada di sampingnya dan menyalakannya. Ia mengganti-ganti chanel tapi tak tahu harus menonton acara apa. Ia bosan dan menguap kecil. Diliriknya jam tangan hitam yang menempel di tangan kirinya, sudah pukul dua siang. Belum juga ada tanda-tanda Vano datang. Cewek itu pun memutuskan berbaring di sofa untuk beristirahat sebentar.
---
Langkahnya pelan tapi pasti dengan tas yang masih ia gendong, dengan dieratkannya memegang talinya lalu sebuah panggilan mengagetkannya.
"Feli sayang," ucap suara ibu-ibu itu dari jarak yang cukup dekat dan terdengar jelas karena rumahnya yang lumayan besar dan sepi.
"Eh, Mama. Kenapa, Ma?" Feli menoleh ke Mamanya dengan senyum hangatnya.
Farah―Mama Feli memeluk pundak anaknya lalu mengelus-elus rambut cewek itu dengan lembut. Perempuan yang sudah berkepala empat itu mengajak anaknya ke ruang makan.
"Sini ikut Mama."
"Apa sih, Ma? Masih main rahasia-rahasiaan aja, hehe." Feli masih mendongak―menatap Mamanya masih penasaran apa yang sedang dilakukannya.
"TARA..." Sebuah suara mengagetkan Feli lagi. Suara yang selama ini ia kenal, Papanya. Laki-laki tinggi dengan kumis tipisnya itu sedang berdiri dihadapan Feli dan Farah―merentangkan tangannya untuk menangkap pelukan anaknya itu. Feli menganga, lalu menghembuskan napas pendek―sekan tak percaya siapa laki-laki yang ada di depannya sekarang. Matanya mulai berkaca-kaca, ia kemudian melangkah pelan menuju orang tersebut. Langkahnya semakin cepat dan berhambur dipelukan Papanya.
"Papa... Feli kangen banget.. kenapa baru pulang? Papa jarang ngabarin Feli sekarang." Cewek itu merengek dan menangis bahagia dalam pelukan Papanya. Mamanya pun ikut melangkah ke arah mereka dengan senyum yang menghiasi wajahnya yang nampak awet muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRANDENA [COMPLETED]
Teen Fiction{Destiny} Manusia itu gampang berubah. Tapi berubah untuk ke lebih baik itu sulit. Hidup Dena berubah ketika bertemu dengan Brandon yang sebelumnya ia benci karena cowok itu suka ikut campur dengan masalah Dena. Tapi siapa sangka jika kebencian Dena...