Part 44

2.1K 101 54
                                    

Mulmed: Alexandra Deviana Islan

Ketika langit pun tahu bahwa aku sedang menyimpan luka yang sulit diungkapkan. - Steve Boy Hilton

---

Dikenakannya jaket hitam ke tubuhnya dan ditutupnya resleting sampai ke dadanya. Boy segera keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan gesit. Setelah menutup dan mengunci pintu rapat-rapat, ia menuju motornya dan langsung melesat seusai mengunci gembok pagar rumah.

Di perjalanan, ia menantikan getaran handphone nya, berharap Hito membalas pesannya yang menanyakan keberadaannya. Namun ini sudah sepuluh menit berlalu, dan Boy tidak tahu harus kemana melajukan motornya yang kini berjalan pelan membelah jalanan Kota yang lumayan padat akan pengendara bermotor.

Boy menepikan motornya di depan sebuah klinik dokter gigi dekat dengan jalan sekolahnya beberapa puluh meter lagi. Boy membuka kaca helm kemudian ia merogoh saku celana jins selututnya dan mengeluarkan benda canggih itu. Ia mencari nama Hito dan segera menghubunginya.

"Hallo? Kenapa lama banget lo bales line gue?"

"Sorry, Boy. Gue salah lihat."

"Maksud lo?"

"Soal Nadya. Bukan Nadya yang gue lihat, tapi orang lain."

"Tapi tadi lo-" Belum sempat Boy melanjutkan ucapannya, Hito sudah memutuskan sambungan secara sepihak. Sangat aneh.

Ada yang gak beres. Pikirnya.

Langit malam tampak tak memperlihatkan bintang-bintang yang biasanya berkilauan. Gemuruh mulai bersuara menggelegar malam. Boy mulai berpikir sejenak kira-kira dimana Hito berada. Beberapa detik kemudian, terlintas dipikirannya kemana ia harus pergi. Cowok itu kembali menutup kaca helm dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

---

Sementara di lain tempat, Hito masih mengernyit dengan ekspresi datar menatap layar handphone nya. Cowok itu mengangkat kepala dan menatap cewek di hadapannya dengan senyuman tipis. "Udah," ucapnya seraya memasukkan benda canggih itu ke dalam saku celananya.

"Makasih ya, To. Lo udah mau bantu gue," ucap Nadya lirih.

"Tapi kenapa lo jadi ngehindarin Boy kayak gini? Lo sebenernya masih sayang kan, sama dia?"

Nadya merunduk, matanya tampak sendu. Dengan kaus putih polos dan celana kain tiga perempat, di tambah balutan sweter berwarna biru gelap, Nadya terlihat lesu. Baru saja ia keluar dari salah satu rumah sakit besar di dekat sekolah Bhakti Mulya.

"Bukan apa-apa...." Nadya menjawab dengan nada menggantung, mencoba mengukir senyum dibibirnya dan melemparkannya kepada Hito yang tengah menatapnya penuh keheranan.

"Lo barusan habis dari rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya Hito lagi.

"Sepupu gue." Nadya menoleh ke belakang ke arah pengendara motor yang tengah menoleh ke arahnya sejak tadi. "Gue pamit pulang dulu, ya! Udah di jemput. Sekali lagi, gue minta tolong sama lo, jangan kasi tau keberadaan gue ke Boy, ya." Nadya menepuk sebelah bahu Hito sebelum akhirnya melenggang pergi dan naik di jok motor bagian penumpang. Sebelum benar-benar pergi, Nadya menoleh ke Hito dan memberinya senyuman terakhir di balik kaca helm nya, dan pengendara motor misterius itu melengos pergi dengan kecepatan sedang.

Hito tersenyum miring, lalu meremas kantong plastik yang berisi sate belanjaannya. Cowok itu teringat akan sesuatu.

"Oh iya bang, kembalian Saya mana?" tanyanya kepada penjual sate yang sedang mengibas-ngibaskan satenya di atas tungku.

BRANDENA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang