Part 59

4.1K 120 69
                                    

Mulmed: Brandon dan Dena

Karena sesungguhnya, kebahagiaan itu kita yang ciptakan sendiri.

---

Waktu itu, Vano baru kelas X IPA 3 di SMA Cahaya Harapan dan satu kelas dengan Jenissa, Adik Bastian. Mereka menjadi teman dekat selama enam bulan, dan di bulan ke tujuh, Jenissa menunjukkan sikap pendiamnya. Sebelumnya ia pernah bercerita pada Vano kalau Kakaknya yang bernama Bastian yang Vano sendiri tidak tahu orangnya yang mana, dia sekolah di luar Kota karena Papanya yang terus memindahkannya akibat sikap dia yang selalu buat onar di sekolah sampai di keluarkan dari sekolah.

"Gue nggak tahu harus gimana lagi, Van," ucap Jenissa saat berjalan menyusuri lorong sekolah bersama Vano untuk menuju kelas.

"Kenapa, Jen?" tanya Vano penasaran.

"Kakak gue. Gara-gara dia mukulin siswa di sekolahnya sampai pingsan, kemarin malam dia dipukul sama Papa."

"Hm, terus gimana keadaan Kakak lo?"

"Bukannya nurut, dia malah ngelawan terus. Akhirnya Papa mutusin buat mindahin dia ke sekolah lain lagi."

"Lo udah coba ngomong sama Kakak lo?"

"Udah. Gue udah coba, Van. Dia cuma bilang 'tenang aja, gue bakal berubah dan jadi anak yang baik'. Tapi dia selalu ingkarin janjinya."

"Lo tahu dari mana?"

"Gue punya temen di sekolah baru dia. Gue sempetin tanya-tanya gimana kelakuan Kakak gue di sana. Tapi ternyata sama aja. Dia sering bolos, tidur di kelas, sampai berantem terus. Dan semenjak sekolah di luar Kota, dia jarang banget bahkan sampai nggak baca pesan gue. Pulang pun hampir nggak pernah."

Vano dan Jenissa memasuki kelas dan duduk di bangkunya masing-masing yang memang mereka duduk satu bangku. Vano menepuk bahu Jenissa, berusaha menenangkan cewek itu. "Lo yang sabar, ya. Mungkin Kakak lo mau berubah tapi itu semua butuh proses...."

Jenissa tersenyum ke arah lawan bicaranya. "Makasih ya, Van. Lo udah mau dengerin cerita gue." Dan Vano mengangguk sebagai jawaban.

Satu bulan setelahnya.

Jam pelajaran terakhir, matematika tidak ada guru dan kelas X IPA 3 seperti biasa membuat gaduh kelas. Vano asik mengobrol dengan teman laki-lakinya di bangku temannya, matanya melirik Jenissa yang sejak seminggu ini jarang bicara dan mukanya pucat. Bukannya Vano tak mau menyapanya, tapi ia juga tak enak jika memang Jenissa sendiri yang menghindarinya dan teman-teman yang lain. Vano berpikir mungkin Jenissa butuh waktu sendiri.

Dua jam berikutnya, Jenissa menempelkan kepalanya pada bangku dengan kedua tangan sebagai tumpuannya. Sepertinya ia tertidur, begitu perkiraan Vano. Hingga setengah jam pun berlalu dan bel pulang, Jenissa tak berkutik di tempatnya. Vano terus melihatnya ketika sudah di ambang pintu ia akan pulang dan masih ada beberapa murid di dalam kelas yang memasukkan buku-buku.

"Van, ayok pulang. Setengah jam lagi inget ke tempat biasa. Hari ini kita harus menang lawan tim mereka." Salah satu teman Vano menepuk bahunya dan menyuruhnya untuk segera pulang untuk bersiap futsal nanti.

Sebelum pulang, Vano sempatkan melirik ke arah Jenissa lagi tapi akhirnya kakinya pergi meninggalkan kelas X IPA 3.

Waktu terus berlalu dan sampai Vano selesai futsal, ia sebenarnya ingin mampir ke rumah Jenissa yang memang lumayan jauh dari rumahnya. Tapi ketika dicari, orangnya tidak ada dan orang tuanya pun benar-benar khawatir di mana keberadaan anaknya sekarang. Vano saat itu lebih khawatir dan melajukan motornya untuk pergi ke sekolah. Waktu menunjukkan pukul enam sore, kelasnya ada di lantai tiga paling pojok dan jarang ada yang lewat ke arah sana. Biasanya pukul tujuh tukang sapu sekolah baru akan menjalankan aktivitasnya membersihkan setiap kelas dan menguncinya.

BRANDENA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang