Part 34

2.5K 115 92
                                        

Mulmed: Immanuel Christian Hito

Matamu memancarkan kebohongan, dan aku tahu kau menyembunyikan itu. - Boy Steve Hilton
---

Vano baru saja sampai diparkiran dekat TU, tapi suasananya sudah sepi dan tak ada sedikit pun murid yang menunggu disana. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Gelap mencekam. Hanya cahaya lampu taman yang suram menerangi kegelapan. Vano menelan salivanya, kemudian merogoh handphone di saku celana jeans nya.

Saat ia sudah memencet kontak Line Dena, perlu beberapa saat ia menunggu agar tersambung dan dijawab oleh Adiknya. Lo dimana sih? Masa gue ditinggal malem-malem gini di sekolah. Malah sepi, lagi. Batin Vano bergidik ngeri melihat ke sekeliling.

"Halo? Dena, lo dimana? Ini gue udah di deket TU nungguin lo tapi sama sekali nggak ada manusia woi!" Vano menggaruk tengkuknya dan terus menoleh kesana kesini, takut ada hal yang mengagetkannya.

"Hah? Lo udah numpang sama temen? Kenapa nggak bilang gue daritadi? anjir, gue merinding disini sendirian. Sialan lo, ya!... Hallo, hallo? Dena?"

Klik.

Dena memutuskan panggilannya dan Vano pun menyadarinya lalu menyimpan ponselnya kembali. Dinyalakannya motornya lalu ia bergegas menjalankannya untuk segera keluar dari sekolah.

---

"Siapa?" tanya Brandon yang baru saja memarkirkan motornya di minimarket untuk membeli makanan, sedangkan Dena baru saja menerima panggilan dari Kakaknya.

"Kak Vano. Gue lupa ngasi tahu dia kalo gue udah pulang bareng lo." Dena mengembungkan pipinya lalu mengeluarkan udara dari mulutnya. Brandon menyeringai lalu menarik tangan Dena untuk masuk ke dalam. "Yuk, masuk." Dena awalnya kaget, tapi genggaman tangan cowok itu hangat dan menyamankannya. Dena mengulum senyum sampai Brandon mengajaknya ke bagian makanan.

Dena baru mengingat sesuatu bahwa kantong plastik yang tadi dipakai menyamar masih ada di dalam perutnya. Oh lebih tepatnya di balik perutnya. "Ndon, kantong plastiknya masih ada dibalik perut gue. gimana nih?" Brandon masih fokus melihat-lihat jenis makanan untuk dipilihnya. "Biarin aja. Nanti aja dibukanya," jawabnya santai.

Dena pun pasrah dan memanyunkan bibirnya. Ia melihat-lihat cokelat yang terpajang—menarik perhatiannya, tapi tak ia ambil. Hanya bisa senyum-senyum kagum melihat banyak merek cokelat itu. Brandon masih ada jauh dari posisi Dena. Tapi tiba-tiba saja cowok itu datang dan mengambil beberapa cokelat dari pandangan Dena dan diletakkan di keranjang belanjaannya. Dena hanya bisa membelalakkan mata melihat tingkah Brandon. "Lo suka cokelat, ya? segitu banyak belinya." Dena menggaruk-garukkan kepalanya.

"Nggak juga, sih. Ini buat lo, lagian kalo lagi pengen makan cokelat ya jangan dipelototin doang. Cokelatnya nggak bakal nyari-nyari lo buat lo makan."

"Hah?"

"Udahlah." Brandon meninggalkan Dena yang tampak kebingungan dengan penjelasannya itu. Ia mengikuti langkah Brandon yang mengantri di depan kasir. Saat akan membayar, Brandon merogoh dompetnya untuk mencari uangnya. Tiba-tiba mbak kasir pun menyeletuk, "Wah, kalian pasangan yang serasi, ya. Istrinya sudah berapa bulan, mas?" Brandon menatap mbak kasir itu dengan wajah kaget, lalu menatap Dena sebentar. Dena melihat perutnya yang memang terlihat membesar karena di baliknya ada kantong plastik.

"Ah? Emm...Sudah mau lahiran mbak." Brandon menjawab dengan ragu-ragu lalu membayar belanjaannya dengan selebaran uang seratus ribu.

Dena mendadak salah tingkah ditatap dua kasir mbak-mbak yang tersenyum manis dan ramah kepadanya. Saat sudah diparkiran, cewek itu mengeluarkan kantong plastik dari dalam perutnya dan Brandon membuka joknya untuk menaruh kantong plastik itu.

BRANDENA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang