Part 32

2.9K 127 86
                                    

Mulmed: Steve Boy Hilton

Saat pintu hatimu mulai terbuka, biarkanlah berjalan apa adanya. Nikmati segala rasa yang bergejolak dalam hatimu.

---

Seusai perkenalan dan pengumuman dari kelas musik, Brandon menghampiri Dena yang baru saja keluar dari kelas tersebut. Hito dan Boy juga dengan setia menunggu Brandon yang mengajak ngobrol cewek itu ditemani ponselnya masing-masing.

"Lo ikut ekstra musik juga?" tanya Brandon sambil berjalan pelan beriringan dengan Dena. Yang ditanya pun mengangguk, memberikan senyuman tipis yang mewakili perasaannya.

"Iya, kan lo udah lihat gue tadi." Dena menoleh sebentar ke Brandon lalu menghadap ke depan lagi untuk melihat jalan.

"Tadi yang lo bilang alasan lo itu...siapa?"

"Mau tahu aja lo." Dena tersenyum miring tanpa memandang cowok itu. Brandon pun tersenyum malu sambil menggaruk bagian belakang lehernya yang tak gatal, sebelum akhirnya ia mendapat gerpakan Boy dari belakang, lalu Hito yang ikut berjalan beriringan dengan mereka.

"Itu pasti elo lah bego," bisik Boy tapi terasa keras di telinga Brandon yang membuat cowok itu menutup telinga kirinya yang bisa-bisa tervonis tuli.

"Pelan-pelan woi! Ini kuping bukan mic yang bisa diteriakin!" pekik Brandon kesal menatap Boy di depannya. Hito pun memandang kepergian Dena yang sudah jauh dari mereka.

"Nah kan, si Dena nya udah pergi jauh." Hito mengalihkan perhatian kedua temannya itu yang kini memerhatikan punggung cewek itu yang sudah berada jauh dari tempat mereka.

"Lo sih!" Brandon mengepalkan tangannya dan seperti bersiap meninju muka Boy tapi yang akan ditinju bersikap memohon dengan maksud minta maaf agar temannya itu tak marah, maka niat Brandon pun hilang.

---

Dena mendapati Vano sudah duduk di taman parkiran sekolah dengan jaket abunya. Cewek itu menepuk bahu Kakaknya dari belakang yang cukup membuatnya terlonjak kaget, lalu mereka pun bergegas untuk pulang bersama.

Sesampainya di rumah, mereka melihat Raka sedang membaca koran di ruang keluarga dengan secangkir kopi yang sudah dipastikan dingin sejak tadi. Dena dan Vano berhenti melangkah bersamaan, memandang Papanya dengan bingung. "Loh, Papa udah pulang? Tumben." Dena mendekati Papanya yang sepertinya sudah mengetahui kepulangan anak-anaknya dan melipat koran yang tadi ia baca. "Eh, Dena, Vano. Iya nih, Papa pulang lebih awal karena nanti mau jemput Mama kamu sorenya trus ada janji sama temen malemnya ketemu, gitu." Raka tersenyum kepada anak-anaknya dengan kaca mata plus yang ia kenakan merosot di batang hidungnya.

"Sama Mama?" tanya Dena lagi seraya menduduki sofa di samping Raka. Vano pun ikut duduk di hadapan mereka dengan menyilangkan kakinya sambil menatap layar ponsel.

"Iya sayang." Raka menjawab singkat, mengundang tanda tanya di benak Dena dan Vano tentunya. Beberapa saat suasana menjadi hening kemudian Raka berdeham untuk mencairkan suasana.

"Ehem, apa...menurut kalian ini terlalu membingungkan? Lihat Mama Papa tiba-tiba jalan berdua?" tanya Raka menaikkan alisnya.

"Oh enggak kok, Pah. Malahan bagus lagi kalo kalian tambah deket, hehe." Dena setengah tertawa dibalik kebingungannya.
Sedangkan Vano masih tetap bungkam.

"Dena, bagaimana pun juga dia Mama kamu. Baik buruknya Mama kamu, seharusnya kamu harus bisa menerimanya. Dia sebenernya sayang banget sama kalian. Jangan didiemin gitu ya, Mama kalian."

Dena menoleh ke arah Raka dengan tatapan intens, lalu ia memberikan senyum terbaiknya sesaat sebelum akhirnya Raka mendapat pelukan hangat dari anaknya tersebut.

BRANDENA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang