Part 51

2.1K 105 30
                                    

Mulmed: Revano Jacob Islan

Ada saatnya kita diam walaupun merasakan sesuatu yang teramat sakit. Setidaknya kita berusaha untuk tidak menyakiti orang lain dengan apa yang kita rasakan. - Revano Jacob Islan

---

"Papa itu apa-apaan sih? Kenapa Papa sampe mukul Feli karena ngebelain anak itu, hah?!" Tiara mengomel sedari tadi membuat ruang kamarnya bergema keluar. Melihat tak ada respon dari Wisnu yang asik duduk merenung, Tiara memberontak. "Kamu denger nggak sih, aku ngomong?"

"Diam!! Jangan berisik, Ma!" Wisnu memalingkan wajahnya menghadap istrinya yang ada di samping kanannya. "Aku nggak bermaksud buat ngebelain Dena dan mukul Feli! Aku cuma ke bawa emosi, Ma! Itu semua di luar kendali aku! Jangan buat aku tambah pusing!" Wisnu meremas rambutnya ke belakang. Tiara mendengus menghembuskan napas kasar dan mencoba menahan emosinya.

"Seharusnya kamu nggak kayak tadi ke Feli!" Tiara beranjak berdiri dan meninggalkan Wisnu di kamar sendiri.

Tinggalah Wisnu duduk termenung lagi. Ingatannya beberapa menit lalu mulai terputar di otaknya. Bagaimana ia memperlakukan Dena dengan kelembutan, dan bagaimana ia memarahi Feli sampai menampar anaknya itu. Sungguh di luar kendalinya. Wisnu menyesal.

Laki-laki itu meringis, memukul kasur dengan kasar sambil memejamkan mata.

Maafkan Papa, Feli.

Mungkin Papa terlalu egois, sampai-sampai Papa lupa...kalau kamu juga anak Papa.

---

Cilla berusaha menenangkan Feli yang masih menangis sesenggukan. Kedua lutut Feli ia pakai tumpuan untuk menenggelamkan wajahnya dan menangis sepuasnya. Hatinya terasa sangat sakit sekali malam ini. Bukan karena Papanya yang lebih memerhatikan Dena, tapi lebih kepada Papanya yang menamparnya untuk pertama kali.

Itu membuatnya syok.

Selama ini ia mengenal Papanya tak pernah main tangan kepada istri dan anaknya. Kalaupun Papanya marah, laki-laki itu pasti hanya meluapkan amarahnya lewat kata-katanya yang terbilang pedas dan menohok. Tapi kali ini berbeda. Feli merasakannya.

"Fel... Udahan nangisnya," ucap Cilla dengan pelan. Tangannya terus mengusap-usap punggung cewek itu. "Udah malem. Mending kita tidur. Jangan sampe lo sakit gara-gara ini. Lusa kita kan kemah, Fel."

Beberapa detiknya Feli mengangkat kepala dan wajahnya merah, beberapa anak rambutnya menempel di dahi karena rembesan air matanya. Cilla merapikan anak rambut itu dan menyisirnya ke belakang dengan jari-jari tangannya.

"Lo jangan benci Dena, ya," ucap Cilla agak berbisik. Seketika itu Feli mengusap matanya dengan kasar dan merapikan rambutnya dengan mencepolnya asal.

"Jangan bahas cewek itu lagi," ketus Feli.

Mendengar jawaban temannya, Cilla menghembuskan napas pelan, menatap punggung cewek yang ada di sampingnya. Feli bergerak untuk merebahkan badannya dan membungkus tubuhnya dengan selimut sampai menutupi bahunya. Feli enggan untuk berhadapan dengan Cilla, ia memilih tidur dengan memunggungi Cilla.

Cilla hanya bisa diam agar suasana tak menjadi keruh. Lagi pula, ia tahu betul apa yang sebenarnya Feli rasakan, dan Cilla berharap amarah Feli terhadap Dena barusan hanya emosi sesaat.

---

Sudah satu jam berlalu dan Dena masih meringkuk di bawah selimut disertai sesenggukan tangis yang tak kunjung reda. Setelah kejadian tadi yang tak terduga membuatnya benar-benar merasa bersalah. Ia pulang begitu saja karena merasa tak enak hati telah membuat suasana keluarga Feli menjadi memanas hanya gara-gara ia terluka. Bukannya menelepon Brandon atau Vano, Dena pulang dengan taxi.

BRANDENA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang