Part 21

3.3K 149 70
                                    

Mulmed: Steve Boy Hilton

Cinta, satu kata penuh makna.
---

Sinar di sore hari bersinar tidak secerah pagi kala mentari akan tenggelam beberapa jam lagi. Brandon termenung duduk di teras depan rumah Dena. Pandangannya lurus ke depan menghadap halaman rumah yang dihiasi tanaman bunga dan pohon-pohonan. Ia memikirkan keadaan orangtuanya di rumah. Meskipun se-marah apapun, cowok itu tetap peduli dengan orangtuanya. Entah apakah mereka mengkawatirkan anaknya atau tidak, Brandon jauh seperti ini saja merasa merindukan ingin melihat wajah mereka, walaupun terkadang Papanya membuatnya tidak bisa mengendalikan emosi.

Di tengah-tengan lamunannya, seseorang menghampirinya dari belakang. Berjalan dan ikut duduk di kursi yang ada di sisinya. "Jadi semalem lo ke rumah Boy buat minjem seragam?" tanya Dena tanpa menoleh ke Brandon, pandangannya ia edarkan ke halaman rumahnya.

Brandon hanya berdeham tanda mengiyakan pertanyaan Dena. Tanpa basa-basi, Dena langsung bertanya lagi. "Sekarang kan masih hari Minggu, lo udah nyiapin seragam. Emangnya lo nggak mau balik ke rumah? Lo nggak kangen sama orangtua lo?" Dena menoleh ke arah Brandon, tapi cowok itu masih tetap dengan pandangannya ke depan. Hanya kedipan mata dan hembusan napas yang ia lakukan. Seperti ingin menjawab, tapi tak tahu harus menjawab apa.

Keheningan menyelimuti keduanya, tapi terpecahkan saat perempuan paruh baya datang dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat. "Eh, kalian dicariin ternyata disini. Minum tehnya dulu, yuk." Clara meletakkan satu persatu cangkir ke atas meja di tengah-tengah mereka. "Brandon, diminum tehnya, nak."

Yang dipanggil pun mengalihkan pandangannya ke Clara yang masih tersenyum hangat. Jelas saja, semalam saat Clara pulang ke rumah, ia sempat kaget ada seorang laki-laki tidur di sofa ruang TV, begitu mendapat penjelasan dari Vano, Clara baru mengetahuinya.

"I..iya, tante. Makasih." Brandon merundukkan tubuhnya untuk berterima kasih dan tersenyum malu karena tidak enak. Calara memeluk nampannya dan tersenyum ke arah mereka bergantian kemudian balik memasuki rumah.

"Gue pernah marah sama nyokap. Sering malah. Tapi gie berpikir, itu senua nggak akan mengubah status dia sebagai nyokap gue. Dia tetaplah nyokap gue yang udah berjuang ngelahirin gue mati-matian. Dan gue nggak bisa benci sama dia." Mendengar curhatan Dena, berhasil membuat Brandon menoleh ke arah sumber suara, menatap cewek itu dengan intens dan tanda tanya. "Den..." panggilnya.

"Hm?" Dena menoleh dan menatap mata cowok yang tengah menatapnya dari tadi.

"Sejak kapan lo jadi bijak kayak gini? Pertama kali gue kenal lo, lo itu galak, songong. Kayak pemeran antagonis di film-film." Brandon mengulum senyumnya sambil masih menatap Dena yang mulai kesal karena kata-kata Brandon. Dena memukuli kepala cowok itu sampai mengaduh kesakitan. Lebih tepatnya menempelengnya.

"Apa lo bilang? Tokoh antagonis? Kurang ajar lo, ya! Emangnya salah kalo gue baik, hah? Sini lo! Gue pengen jambak rambut lo sampe habis!" Dena mengejar Brandon yang lari darinya, mereka kejar-kejaran di sekitar teras, berputar-putar sambil berteriak dan tertawa lepas.

---

Langit pun tak terasa sudah gelap. Hanya bintang dan bulan yang menerangi indahnya malam. Cewek dengan piyama mandi dan handuk yang melilit di kepalanya, melangkah keluar dari kamar mandi. Langkahnya pasti yang akan menuju kamarnya di lantai atas, tapi tiba-tiba terhenti saat melihat Papanya yang baru saja datang dari bekerja. Laki-laki bertubuh tinggi dengan pakaian kantoran itu meletakkan tasnya di sofa ruang keluarga, lalu melepas satu persatu sepatu pantopel kulitnya. Tubuhnya ia rebahkan di sofa, dengan menarik dasinya untuk merenggangkan cekikan di leher, dan membuka dua kancing baju atasnya.

Cilla berjalan mendekati Papanya, bersamaan dengan Mamanya yang berjalan dari arah dapur. Dengan senyum yang merekah, Vera—Mama Cilla duduk di sebelah suaminya. Surya—membalas senyum istrinya dengan mengelus rambut perempuan itu. Kemudian, Vera melepaskan dasi suaminya, mengelap keringat sampai merapikan rambut Surya yang agak berantakan. Cilla ikut duduk dan memeluk kedua orangtuanya spontan.

BRANDENA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang