Adzan Maghrib baru saja selesai berkumandang di masjid dekat rumah gue ketika Ibu membuka pintu depan.
"Ibu..." gue hendak menyapa, tetapi berhenti ketika melihat ekspresi beliau. "Kamu dari mana aja? Kok Ibu telepon nggak diangkat?" tanya Ibu.
"Tadi habis ngerjain tugas dulu, Bu, di perpus. Handphone Wigra ketinggalan di tas," tukas gue sambil masuk ke rumah, sementara Ibu mengikuti gue di belakang.
Gue rasa malaikat tukang nyatet amal dan dosa manusia di sebelah gue udah geleng-geleng kepala sambil nulis omongan gue ke Ibu.
"Aduh, Wigra, jangan dibiasain gitu ah. Besok-besok kalo mau pulang telat, kabarin Ibu ya?" beliau mengelus rambut gue. "Mandi dulu sana. Kalo laper, ada sop tinggal diangetin, ya?"
"Beres, Bu," jawab gue sebelum pamit naik ke kamar. Entah kenapa percakapan tadi bikin isi perut gue kayak diaduk-aduk.
Gue langsung mengecek ponsel ketika sampai kamar. Ada sekitar tujuh missed call dari Ibu dan beberapa pesan WhatsApp. Wigra di mana? Pulang jam berapa? tulis Ibu.
Lalu ada pesan dari Irgi di grup The Eyeless Pandora.
Irgi
Geng, udah pada sampe kan?Garin, Cakra, dan Kandi udah ngebales Irgi dan ngabarin keadaan masing-masing. Gue langsung mengetik balasan.
Wigra
Aman, Gi. Baru sampe.
Sampe ketemu besok yaLalu gue membaca lagi pesan Ibu yang nanyain keberadaan gue. Gue bukannya nggak mau ngasih tau soal aktivitas gue bersama Garin, Irgi, Cakra, dan Kandi ke Ibu dan Ayah.
Masalahnya, sekarang situasinya belum memungkinkan.
"Gra, kamu belum ada rencana ikut aktivitas di luar kampus kan?" gue masih inget pertanyaan Ibu beberapa bulan lalu saat makan malam.
"Belum, Bu. Wigra juga belum tau UKM di kampus nanti apa aja," jawab gue ketika itu. Ayah melirik Ibu sejenak sebelum berdehem.
"Kalau boleh Ibu dan Ayah kasih saran sih, semester satu kamu fokus dulu ke kuliah. Menyesuaikan diri dulu sama lingkungan baru dan dapat IP yang bagus," kata Ayah.
"Kan, waktu SMA udah puas toh, ikut ekskul bandnya? Boleh kan, Ibu sama Ayah minta hal yang lain-lain dikesampingkan dulu?" kata Ibu, menatap gue.
Saat itu gue memang mengiyakan aja, karena nggak tahu juga kehidupan gue nanti di kampus akan seperti apa.
Tapi gue juga nggak bisa mengingkari perasaan gue ketika ketemu Garin, Irgi, Cakra, dan Kandi.
Ketemu, ngobrol, dan ngulik lagu bikin gue kangen ngeband lagi. Kangen main drum lagi. Kangen bermusik lagi.
Entah sejak kapan, bermusik dan main drum jadi cara gue menenangkan diri, setidaknya untuk selama beberapa menit ngiringin temen-temen gue nyanyi dan main instrumen lain.
Dan bersama The Eyeless Pandora, gue dapat kesempatan bikin pikiran gue jadi kembali jernih setelah mumet menjalani semester pertama kuliah.
Ketika kami sepakat untuk jalanin proyek band ini, gue udah berjanji akan kasih tahu Ayah dan Ibu.
Tapi nanti. Kalo gue punya bukti bahwa aktivitas dan renjana* gue ini nggak sampe mengganggu kewajiban utama gue kuliah.
Sampai momen itu datang, mungkin gue terpaksa harus rela nambah dosa karena bohong sama orangtua sendiri.
***
Kekhawatiran gue sedikit terhapus ketika gue ngumpul lagi bersama The Eyeless Pandora besok sorenya. Apalagi agenda hari ini beda dari beberapa kali pertemuan kami sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eyeless Pandora
Short StoryLima laki-laki dan lima jalan hidup berbeda, dipertemukan dan saling menemukan dalam kelindan mimpi yang sama. Dengar mereka bercerita soal hidup, musik, cita-cita, cinta, luka, menerima, memaafkan, serta serangkaian perjalanan yang menempa untuk j...