Kandi memandangi gue, Garin, Irgi, dan Wigra bergantian.
"Gue janji, begitu urusan gue selesai, gue akan kembali kalo diizinkan," kata Kandi. "Saat ini gue cuma minta doanya aja kalo boleh," ujarnya.
Tanpa menunggu jawaban kami berempat, dia berbalik pergi. Refleks, kaki gue bergerak. "Ndi..." panggilnya.
"Jangan, Cak," suara Irgi menahan langkah gue. "Dia nggak mau dikejar," kata Irgi, tanpa sadar mengacak rambutnya.
Gue bisa mendengar dia berusaha keras menjaga nada suaranya biasa saja, tapi mata Irgi nggak bisa bohong. Dia sama paniknya dengan gue.
Wigra dan Garin bertukar pandang tanpa suara, lalu Garin mengusap wajahnya. "That stubborn kid," gumamnya. "What are we gonna do?"
"Kita..." Irgi menarik napas sebelum melanjutkan. "Kalo kita kejar dia sekarang juga gue rasa sia-sia. Mungkin kasih dia beberapa hari dulu,"
"Berapa lama?" gumam Wigra.
Nggak ada yang sanggup menjawab pertanyaan itu.
***
Stasiun Gambir
"Cakra?" gue tersentak. Sekar tengah memandangi gue, kedua alisnya bertaut. "Kenapa, Cak? Ada yang ketinggalan?" tanyanya.
"Nggak kok, Kar," jawab gue. "Aku nggak apa-apa," gue merapatkan jaket jins yang gue pake. Gambir dingin sekali siang ini. Mungkin karena dari pagi cuaca mendung terus.
"Bener? Abis muka kamu kayaknya serius bener," tangannya bergerak membetulkan kerah jaket gue.
Dia yang beliin gue jaket ini. Katanya kado ulang tahun gue-yang bahkan nggak sempat kami rayakan.
Gue tertawa dan menatapnya. "Nggak kok. I'm fine," kata gue, lalu merengkuh tangannya. "Kamu sendiri gimana? Nggak apa-apa ke Gambir sendirian naik kendaraan umum?"
Dia mengangguk. "Ya kan aku juga mau main abis ini ke tempat temenku. Sekalian lah," jawabnya.
"Udah ngasih tau orang rumah?"
"Udah kok. Kenapa?" gue tidak langsung menjawab, tapi Sekar sepertinya langsung paham maksud gue.
"Ya ampun, Cak, aku harus bilang berapa kali sih?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Papa sama mamaku nggak marah ke kamu kok. Beneran,"
"Even ketika aku nganterin kamu pas tengah malem?" gue mengacu saat nganterin Sekar pulang dari gig di kampus beberapa waktu lalu.
Kami waktu itu nongkrong sama beberapa temen sebelum nganter dia. Kami sampe ke rumahnya pas jam 12, by the way.
"Aku waktu itu udah bilang ke Papa kok. Dia cuma nanya kenapa pulangnya lama, trus siapa yang nganterin aku," dia mengangkat bahu. "Dan kayaknya nggak usah aku bilang juga kayaknya dia tau kamu siapanya aku," lanjut Sekar.
Gue kembali tertawa. "Semoga mama-papa kamu nggak musuhin aku ya,"
"Nggak lah, apaan sih," dia menepuk pelan pundak gue. "Becanda, ah," sekali lagi gue mengelus puncak kepalanya.
Sekar menatap gue selama beberapa saat. "Kamu nanti di Surabaya makan sama istirahat yang cukup ya," katanya.
"Iya, pasti,"
Kali ini gantian dia yang tertawa pelan. "Kamu tau pasti kan maksud aku," ujarnya. "Iya, Kar," gue menghela napas.
Gue baru sekali ketemu sama bokapnya Kandi, waktu The Eyeless Pandora nginep di rumahnya. Papanya baik dan welcome banget ke kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eyeless Pandora
Historia CortaLima laki-laki dan lima jalan hidup berbeda, dipertemukan dan saling menemukan dalam kelindan mimpi yang sama. Dengar mereka bercerita soal hidup, musik, cita-cita, cinta, luka, menerima, memaafkan, serta serangkaian perjalanan yang menempa untuk j...