Gue butuh waktu untuk mengumpulkan napas dan menatap crowd di hadapan gue. Absurd rasanya bisa naik panggung bareng The Eyeless Pandora, di depan almamater sendiri pula.
Dan gue cukup yakin, nggak ada satupun di antara kami berlima yang menyangka bakal ada teriakan "Encore! Encore! Encore!" dari penonton.
Belum lagi sorakan dari teman-teman prodi kami masing-masing. Liat aja Lyanna, yang biasanya nyantai ditempelin Irgi tiap di kantin, ikut bersorak minta encore persis kayak serigala lepas.
Garin memanggil kami mendekat. Gue, Irgi, dan Kandi langsung mengelilingi lead guitarist kami itu, sementara Wigra masih bertahan di tempatnya.
"Udah, di situ aja kalo ribet, Gra. Nggak apa-apa," kata Irgi saat Wigra hendak bangkit. "Eh gimana nih, kita nggak nyiapin lagu buat encore. Apaan ya enaknya?" tanya gue.
Kandi menyebutkan lagu yang waktu itu kami garap di studio. Dengan segera, pilihan lagu itu disetujui sebelum kami semua kembali ke pos masing-masing.
"Oke, oke, guys, we heard you. Sebelumnya, terima kasih udah minta encore, hahaha..." kata Garin. "Jadi, ini untuk kalian."
***
"Adoooooh, gila, gila, gila," Wigra memijat-mijat telapak tangannya. "Haha, sori ya, Gra, tadi pilihan encore-nya terlalu cadas. Dadakan pula," gue mendekatinya.
"Santai, Cak. Begini mah nggak ada apa-apanya ketimbang liat orang-orang tadi, buset deh kesurupan apaan," sahut Wigra, sementara gue, Irgi, dan Kandi tertawa lepas.
"Eh, Garin mana?" Kandi celingukan. Di belakang panggung bersama kami cuma ada gitar elektrik coklat punya Garin. Orangnya nggak tau di mana. "Tadi katanya keluar sih, ketemu siapa gitu, bentar coba gue hubungin," Irgi mengeluarkan ponselnya.
"Ah kampret, nggak ada sinyal. Gue keluar dulu deh, kali aja ketemu," lanjutnya.
"Nyari sinyal, nyari Garin, apa nyari Lyanna?" cetus gue. "Ya sekalian lah," Irgi menjawab asal ketika Garin muncul. "Nah, muncul kan orangnya," ujar Irgi.
"Dari mana lo?" tanya Kandi. Gue baru menyadari kalau Garin tidak datang sendirian.
Sesosok cewek berpostur agak mungil berambut sebahu mengikutinya. "Guys, kenalin, ini Sekar. Adek kelas gue," Garin mengenalkan cewek itu, yang lalu melambai dan mengangguk sopan.
"Halo semuanya," suaranya pelan. Lembut kayak permen buah yang suka gue beli waktu kecil. Parasnya juga ayu. Bikin betah ngeliatin.
"Hai, Sekar," gue balas melambai. Sekilas gue melihat Kandi melirik gue lalu menggeleng pelan sambil rolling eyes. Padahal kan gue cuma nyapa ya.
"Sekar ini anak radio kampus, dia penyiar kan ya, Kar, ya?" Sekar mengangguk mengiyakan perkataan Garin. "Dan, kedatangan dia hari ini untuk... eh, lo jelasin deh, Kar, coba," lanjut si bule.
"Mbak, nggak mau duduk aja?" kata Wigra seraya bangkit dan menunjuk kursinya. Sekar menurut dan duduk sembari merogoh tasnya.
"Jadi gini, Kak Garin dan temen-temen The Eyeless Pandora. Gue dateng mewakili komunitas radio, mau kasih undangan ini ke kalian," Sekar mengeluarkan selembar amplop yang langsung diterima Irgi.
"Intinya sih, kami mulai bulan depan ada segmen baru, yaitu ngundang teman-teman almamater yang punya hobi bermusik untuk jadi bintang tamu dan perform, sambil ngobrol-ngobrol. Nah, untuk edisi pertama, kami bermaksud mengundang The Eyeless Pandora," jelasnya.
Gue membaca isi undangan di tangan Irgi dari bahunya. Intinya sama sih dengan yang dijelaskan Sekar tadi.
"Kalo kalian butuh waktu buat diskusi silakan lho. Nanti bisa kabarin gue atau produser gue, kontaknya ada di situ kok," dia melanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eyeless Pandora
Short StoryLima laki-laki dan lima jalan hidup berbeda, dipertemukan dan saling menemukan dalam kelindan mimpi yang sama. Dengar mereka bercerita soal hidup, musik, cita-cita, cinta, luka, menerima, memaafkan, serta serangkaian perjalanan yang menempa untuk j...