Mama ada di luar kamar Papa ketika gue datang. "Dari mana aja, Ndi?" tanya Mama begitu melihat gue dateng.
"Tadi cari minum, trus nelepon Langit," jawab gue sambil melongok ke arah kamar Papa. "Papa lagi ngapain, Ma?"
"Udah tidur lagi. Biarin, nggak apa-apa. Kamu juga pulang gih. Besok kuliah jam berapa?"
"Biasa, Ma, pagi," jawab gue. Gue mengamati wajah lelah Mama. Pikiran gue terlalu sibuk sama Papa, sampe-sampe gue lupa. Mungkin Mama pun butuh gue.
"Mama nggak mau pulang dulu aja bareng Kandi? Atau mau Kandi beliin apa?"
Mama menggeleng. "Nanti a..."
"Dari kemarin Mama jawabnya gitu terus," gue menelan ludah. "Jangan sampe Mama juga sakit. Mama udah berapa lama nginep di sini?"
Alih-alih menjawab, Mama menatap gue. "Iya, nanti malam Mama pulang," tangan beliau bergerak mengelus rambut gue. "Langit apa kabar?"
"Baik. Tadi Kandi udah cerita kalo Papa udah bangun," jawab gue.
Mama dan Langit sudah familiar satu sama lain sejak gue memberanikan diri memperkenalkan mereka berdua.
"Kuat ya kalian LDR-nya,"
"Itu pertanyaan apa pernyataan, Ma?" tanya gue, tidak urung tersenyum.
Mama ikut tersenyum. "Padahal dulu Mama sempet nggak yakin kamu sama Langit bisa tahan lho, jauh-jauhan gitu,"
"Kenapa?"
"Nggak tau. Mungkin cemas aja kamu sama dia sama-sama kebebanan LDR, trus malah jadi nggak fokus sama kuliah," Mama menatap gue. "Tapi kayaknya lancar-lancar ya tuh ya sejauh ini?"
"Yah... begitulah," gue mengangkat bahu. "Papa tadi nyariin Kandi lagi nggak?"
"Nggak, tadi langsung tidur," jawab Mama. "Kamu sendiri gimana?"
"Gimana apanya?"
"Baik-baik aja kan?" tanya Mama, lalu tertawa kecil. "Jangan dipikir Mama nggak liat lho kamu stres banget sejak Papa sakit," dia mengelus lengan gue. "Dan jangan pikir selama ini Mama nggak tau kamu sama Papa gimana."
Gue tidak berani menatap wajah Mama. Gimana gue bisa menjawab kata-kata Mama sekarang?
Mama boleh jadi orang paling chill, paling moderat, paling santai di rumah kami... tapi nggak ada satu pun yang lolos dari pengamatan beliau.
***
Mama berdecak saat melihat Kandi datang. "Pulang juga bungsunya Mama," kata beliau. "Kirain udah pindah rumah ke Depok," Kandi tertawa mendengar kalimat terakhir Mama.
"Mahasiswa belom punya duit beli KPR, Ma," jawabnya sambil melepas sepatu.
Sejujurnya, Kandi tidak ingat kapan terakhir kali dia dan Mama mengobrol sambil bercanda akrab begini. "Momma's boy," kalau kata Kak Widi.
"Makanya lulusnya nggak usah lama-lama dong, Ndi," kata Mama. "Biar habis sarjana, trus masuk kerja, trus masuk TV,"
"Kok masuk TV?" kening Kandi mengernyit. Bukan jawaban yang dia dapat, malah tepukan kecil di lengannya. "Pake pura-pura nggak tau lagi. Emang Mama lupa kamu sekarang nge-band? Mama kan juga mau nonton anak Mama di TV," ujar Mama.
Kandi tertawa lepas. "Mama udah siap emang kalo liat Kandi di TV?"
"Lho kenapa nggak siap? Malah bangga dong. Berarti kan kerja keras bungsunya Mama nggak sia-sia," kata Mama.
"Mama sejak kapan jadi hipster begini?"
"Hipster apaan sih, Mama taunya hipster celana,"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eyeless Pandora
Short StoryLima laki-laki dan lima jalan hidup berbeda, dipertemukan dan saling menemukan dalam kelindan mimpi yang sama. Dengar mereka bercerita soal hidup, musik, cita-cita, cinta, luka, menerima, memaafkan, serta serangkaian perjalanan yang menempa untuk j...