Intermission 1/4 - Garin

1.3K 233 34
                                    

Gue tengah menelan potongan terakhir roti bakar gue sebelum meneguk air putih sebelum Papa bergabung di ruang tengah.

"Lho, Papa nggak ke kantor?" tanya gue. Biasanya kalo gue mau berangkat, either Papa udah jalan duluan atau dia juga udah rapi dan siap-siap ngantor.

Trus, kalo udah gitu, Papa bakal nyuruh gue ngabisin sarapan di mobil supaya bisa nebeng sampe tempat gue biasa naik bus atau order angkutan online.

Papa tertawa pelan. "Papa udah cuti dong. Ngabisin jatah cuti buat Natal sama Tahun baru," jawabnya sambil meraih setangkup roti.

"Oh, kirain," kata gue, tanpa sadar menghela napas lega. Mama menghampiri gue. "Kamu pulang jam berapa nanti?"

"Maybe a little bit late. 4-ish, perhaps?" jadwal ujian gue sebenernya udah selesai.

Tapi gue harus ngumpulin makalah, dan deadline-nya jam 11. Plus, gue ada janji sama Mas Teguh buat tutorial jam 2.

I'd see what I can do whilst waiting.

"Ah, kalo jam 4 sih itu nggak telat kalo pake standar Garin. Emang udah biasa pulang jam segitu," Mama tertawa. "Nggak ada latian?" gue terdiam mendengar pertanyaan lanjutan Mama.

"Nggak ada, Ma," kata gue sebelum menjawab. "How's the friend's father doing, by the way?" Papa ikut bertanya.

Gimana gue ngejawabnya? Kandi belum mau ngerespons WhatsApp gue, Irgi, Cakra, atau Wigra. Di grup nggak pernah nyahut.

Di kampus juga dia mendadak kayak ninja. Nyaris nggak pernah keliatan.

Where are you, Ndi?

Gue menghabiskan air minum gue. "Belum ada kabar, Ma, Pa," kata gue. I could see them glancing at each other. Mama lalu menepuk pundak gue.

"Nggak apa-apa. Kasih dia waktu sama papanya,"

"Yeah..."

Gue baru akan berangkat ketika Papa memanggil. "Berangkat naik apa?" Alih-alih menjawab, gue menunjuk aplikasi transportasi online di layar ponsel. Papa tertawa.

"SIM kamu belum mati kan? Nih," kata beliau sambil menyodorkan sesuatu. Kunci mobil.

***

"Liburan nanti ke mana, Rin?" tanya Mas Teguh sementara gue merapikan kertas-kertas dan buku catatan gue.

"Paling di rumah aja, Mas, Natalan sama keluarga. Mas Teguh ngapain?" jawab gue. Kami baru saja menyelesaikan sesi tutorial terakhir gue tahun ini.

Mas Teguh tertawa pelan. "Sama, Rin, saya juga paling pulang ke tempat Bapak sama Ibu di Bekasi. Udah nggak ada UAS?"

"Udah kelar, Mas. Ya tinggal nunggu nilai aja. Semoga udah cukup buat saya maju skripsi," kata gue.

Gue udah masukin nama dan proposal skripsi gue, by the way. Semoga dipanggil buat seminar judul pas liburan nanti ya.

"Bisa lah, Rin. Itu kamu tulisannya udah jauh lebih runtut kok. Asal kamu tau apa yang mau tulis, itu udah 50 persen membantu," kata Mas Teguh sambil membereskan tasnya.

"Kalo apa-apa, kabarin aja ya Rin. Handphone saya standby kok. Yuk," pamitnya.

"Eh iya, Mas, mari," kata gue. Seperti biasa, gue melipir ke kantin dulu buat beli minum, kadang sambil scrolling Twitter atau cek grup WhatsApp.

Nggak taunya udah ada satu pesan masuk. Gue udah setengah berharap itu pesan dari orang yang gue harapkan akan merespons pesan gue beberapa hari lalu.

Ternyata orang lain.

The Eyeless PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang