59.2 - Wigra

1.3K 251 45
                                    

"Kita tak semestinya berpijak di antara ragu yang tak berbatas,
Seperti berdiri di tengah kehampaan, mencoba untuk membuat pertemuan cinta."
(Kita adalah Sisa-sisa Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan-Payung Teduh)

Entahlah gue udah makan berapa permen mint sejak setengah jam lalu, tapi kok ini acaranya nggak selesai-selesai ya.

Di hadapan gue, Jati berdehem memandangi kami satu per satu. "Jadi ini fix ya, orang-orangnya yang bakal ikut di acara penyambutan buat maba," katanya.

Tanpa sadar gue mengeluh pelan. "Harus banget gue ya?"

"Yailah, Gra, kan tinggal pura-pura galak doang ke maba, apalagi suara lo udah mendukung," kata Nura.

"Lagian kan lo nggak sendirian, Gra. Ada Nura, Edo, sama Arsya juga," Jati ikut mendukung perkataan Nura.

Di tengah libur, jurusan gue ngadain rapat pleno buat event jurusan semester depan. Setelah kelar, gue dan beberapa temen seangkatan yang dateng ke pleno ngumpul dulu ngomongin acara ospek jurusan buat maba.

Sebenernya sih acara penyambutan maba di jurusan gue nggak horor. Jurusan gue malah salah satu yang nggak pake acara inisiasi yang bawa maba nginep di Puncak atau lokasi lain di luar kampus.

Katanya sih, biarlah para maba dipelonco langsung sama dosen, eh, maksudnya sama tugas dan kuis, serta materi perkuliahan.

Awalnya gue nggak ngerti maksudnya, tapi setelah ngerasain sendiri, gue pun paham.

Cuma ya biar gimana, namanya ada anak baru, tetep harus disambut dan mesti ada lucu-lucuannya, ya kan?

"Setaun sekali Gra, anggaplah berbakti sama jurusan biar lulusnya cepet," kata Astrid.

"Apa hubungannya?" kening gue berkerut.

"Nggak ada sih, sebenernya. Maksudnya biar lo mau aja," Astrid mengangkat bahu.

"Lo minta banget ditoyor ya," kata gue sambil mendelik.

"Ya abisnya lo ogah-ogahan gitu," ujarnya sambil merapikan poninya.

Saat dia melakukan itu, gue bisa mencium wangi sampo di rambut Astrid. Sambil berdehem, gue bersiap mengambil satu permen lagi.

Jati geleng-geleng menatap kami. Gue bahkan bisa melihat dia menahan senyum pas ngeliat gue.

Muke lo nggak enak banget, Jat, asli.

"Ya udah, daripada diskusinya makin nggak mutu, gue anggap semua fix ya? Kecuali kalo ada yang masih nggak setuju, ya kita bahas lagi aja di sini," ujarnya.

"Udahlah, laksanakan aja, biar cepet. Kasian tuh Pak Mukti udah nungguin," kata Arsya sambil menyebut nama petugas jaga Gedung D.

Di masa libur seperti ini, ruang kelas di kampus emang tetep buka. Soalnya masih ada yang ikut program semester pendek, presentasi proposal skripsi, sidang skripsi, atau ya kayak kami sekarang ini yang ngobrol di salah satu ruangan kelas kosong di lantai 1.

Berhubung yang lain setuju, mau nggak mau gue juga akhirnya ikut suara terbanyak.

"Lo abis ini balik, Gra? Apa latian?" tanya Astrid ketika kami berjalan meninggalkan dari gedung D setelah Jati menyatakan "rapat" hari itu dibubarkan.

"Masih minggu depan, nunggu Cakra balik," jawab gue seraya mencangklong tas.

Kalo ada alasan untuk ekstra excited nunggu latihan The Eyeless Pandora, ya ini. Kami akhirnya ada gig lagi dan Kandi udah siap gabung. Emang udah waktunya.

The Eyeless PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang