Saksi Mata (part 2)

1.3K 260 8
                                    

Gue memperhatikan Astrid yang tengah mengaduk-aduk blackcurrant tea pesanannya yang sejak tadi belum dia minum.

Setelah gue, entah bagaimana, berhasil membujuknya untuk nggak nangis di kampus, Astrid mengajak gue pergi ke restoran fast food di mal deket kampus.

Sekalian makan, katanya. Siapa suruh tadi beli siomay malah ditinggal. Laper kan lo sekarang, Cit.

Tapi kalo gue ngomong gini, pasti gue kena toyor. Jadi, gue mendingan nyari bahan omongan lain atau diem sekalian.

Kalo gue pilih opsi kedua, kayaknya sampe Mocha kucing gue bisa nyuci kamar mandi juga Astrid nggak bakal ngomong.

"Cit, diminum bisa kali tuh," kata gue. Jangan heran ya kalo gue bisa seakrab ini sama Astrid. Ya gimana, gue sama dia satu angkatan di program studi yang sama. Kami juga barengan terus sejak jaman kuliah matrikulasi, sampe ke ospek mulai dari tingkat universitas dan fakultas.

Makanya, dibandingin temen-temen cewek lain di angkatan, Astrid-lah yang paling akrab sama gue. Dulu sih suka banyak yang salah sangka ngira Astrid pacar gue. Kalo udah gitu, gue cuma bisa ketawa aja. Lha, Astrid aja udah punya pacar.

Eh, bentar.

"Cit, lo berantem sama Emir?" tanya gue hati-hati. Astrid menggeleng. "Emir aja lagi nggak di Jakarta. Lagi ada trip apa gitu sama jurusannya ke Banyuwangi," jawab Astrid.

"Oh gitu,"

"Nyokap gue ngehubungin. Nanya kabar gue," kata Astrid akhirnya. "Trus lo mau jenguk?" wajah Astrid berubah keruh mendengar pertanyaan gue.

"Sori, sori, Cit. Gue nggak maksud," kata gue cepat-cepat. Dia mengibaskan tangan pelan. "Nggak apa-apa," sahut Astrid, lalu akhirnya meneguk minumannya. "Gue cuma nggak ngerti aja sama dia," dia mengacak rambutnya.

Gue nggak bertanya; biarin aja, ntar juga pasti dia ngomong sendiri.

"Udahlah dulu sering bikin bokap gue susah, bikin suasana rumah kacau, ninggalin gue sama bokap, trus sekarang dia ngehubungin gue, buat apa?" tanyanya.

"Mungkin... " gue urung melanjutkan. Astrid belum tentu butuh jawaban.

"Mungkin apa, Gra?"

Gue mengangkat bahu. "Ya barangkali aja dia pengen tau kabar lo," kata gue.

Astrid tertawa kering. "Baru sekarang, Gra, dia nanyain kabar gue? Kemarin-kemarin dia ke mana? Waktu gue bolak-balik rumah sakit nengokin adek gue sambil nyiapin ujian masuk universitas, dia ke mana? Waktu gue diterima di sini, kenapa dia nggak nelepon sekadar ngasih ucapan? Selama ini ada nggak dia nanya kabar gue, dia ngapain aja? Gue lagi suka fotografi, pengen belajar fotografi, ada nggak dia kasih dukungan ke gue? Nggak ada,"

Wow. Lo udah nahan berapa lama, Cit, sampe tumpah semua gini curhatan lo?

"Belom lagi soal Emir," Astrid menghela napas.

"Sebelum bokap-nyokap pisah, gue kan belom sama Emir. Tapi dia udah sering anter-jemput gue, sering ke rumah. Dan nyokap selalu sinis ke dia cuma gara-gara gue sama Emir beda cara berdoa. Padahal Emir baiknya kayak apaan ke gue, bahkan ketika gue lagi galau pas bokap-nyokap pisah," gue langsung menyodorkan tisu saat melihat mata Astrid kembali berkaca-kaca.

"Jangan nangis di sini, Cit. Malu," bisik gue sambil mengusap punggung tangannya, lalu cepat-cepat berhenti.

Dia mengangguk sebelum menunduk sejenak. "Sori, Gra, gue kesel banget. Iya, dia nyokap gue," katanya saat melihat ekspresi gue.

"Cuma apa karena dia nyokap gue, trus gue nggak boleh marah dan kecewa ke dia?" lanjutnya.

Gue nggak tahu, Cit. Cuma lo yang ngerti gimana jawabnya.

The Eyeless PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang