Gue mengusap hidung yang mulai terasa gatal karena kebanyakan menghirup asap rokok di teras kedai kopi terkenal di mal ini.
Tadi waktu gue dan temen-temen gue dateng, cuma spot ini yang kosong. And since some of my gang are smoking, here we were.
"Eh, sori, asapnya kena ke elo ya, Rin? Shoot," kata Gerald sambil mengibas-ngibaskan asap rokok menjauh dari wajah gue.
"Nah, I'm good," gue menjawab cepat-cepat, lalu meraih minuman pesanan gue. Just regular ice tea, since drinking coffee makes me shaking heavily for some reason.
"So, Rin, kapan kita bisa liat lo nge-gig lagi sama The Eyeless Pandora?" tanya Jani sambil mematikan rokoknya.
Gue tertawa kecil. "Makanya pada dateng dong, pas ke Bloody Mary lo pada sibuk semua," ujar gue.
"Damn, I will forever salty over that performance, man. Temen gue tuh nonton trus sempet ngerekamin. You guys killed it," sambung Raga.
"I know, right. Akhir November nanti gue manggung lagi, acaranya agak gede gitu. Dateng lah, give a guy a big cheer,"
"Di mana?"
"Di kampus gue lah. Wait, gue kirim posternya ke elo ya,"
"Dude, kampus lo tuh jauhnya amit-amit ya," kata Gerald. "But I'm sold, man. I'm sold. Gue dateng deh," lanjutnya.
Gue bertepuk pelan. "That's the spirit. Come on, bakal seru kok acaranya," gue meyakinkan mereka.
It's been a while since I caught up with my friends from high school like this. Apalagi sejak kami kuliah di tempat yang beda-beda.
Ini aja kami ngumpulnya masih nggak lengkap, hanya geng yang masih bertahan di Jakarta.
"Tanggal berapa sih? Biar ajak Kieran sekalian. Kayaknya akhir November dia balik," kata Jani sambil menyebut salah satu temen gue yang lagi kuliah di London.
"Holy smokes," kata Raga, lalu menunjukkan layar ponselnya, tepatnya ke sebuah profil Instagram.
"Sienna sekarang di Brisbane kayak gini bentukannya," ujarnya sambil menyebut salah satu teman kami yang lain.
Berhubung pas di Indonesia gue ngelanjutin SMA gue di sekolah internasional, jadi hal yang wajar kalo temen-temen gue banyak yang memilih ngelanjutin sekolah di luar negeri.
Gue, Raga, Jani, dan Gerald adalah segelintir orang yang memilih bertahan di Jakarta. Mereka bertiga di uni yang sama, sementara kampus gue beda sendiri.
Setelah hampir menyerah di semester pertama gue di kampus, gue toh ternyata survive juga.
Mau balik ke US pun kok kayak nanggung. So, I stayed here.
Who knows, maybe I would snatch a chance to pursue Master degree or even get a job overseas.
"Oh, heck, she looks good. Should I move to Aussie too to upgrade myself?" kata Jani, disambut tawa kami semua. "Hang in there, Jan. Lo bukannya taun depan berangkat?" tanya Gerald.
"Hold on, ini gue belom denger. You're not leaving without telling me, sis. Where are you heading?" perhatian gue teralih.
"London," jawab Jani. "Seriously? For real?" gue melotot. "Wait, you're not telling me kalo lo mau nyusul Kieran kan?"
"Ya nggak lah, dodol!" Jani merengut. "Gue udah coba apply di salah satu uni di sana--beda uni sama Kieran, mind you--dan semoga keterima. Makanya doain thesis gue cepetan di-approve dong,"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eyeless Pandora
Historia CortaLima laki-laki dan lima jalan hidup berbeda, dipertemukan dan saling menemukan dalam kelindan mimpi yang sama. Dengar mereka bercerita soal hidup, musik, cita-cita, cinta, luka, menerima, memaafkan, serta serangkaian perjalanan yang menempa untuk j...