Saksi Mata (part 1)

1.7K 274 17
                                    

Bloody Mary, malam setelah The Eyeless Pandora manggung

Gue membesarkan volume ponsel gue. Emang susah ya kalo mau ngobrol di telpon pas lagi di tempat rame macam Bloody Mary gini. Lo sering nggak bisa denger lawan bicara lo ngomong apa.

Kayak gue sekarang nih, lagi berusaha mencerna si Arsya, temen angkatan gue, lagi ngomong apa.

"Lo di mana? Ha? Di mana? Gue lagi di lantai satu deket bar. Deket bar. Bar. Iya. Ha? Halo?"

Tuh kan.

Gue masih berusaha mendengarkan Arsya ketika sebuah tangan menarik gue. Lho, ini dia orangnya. "Anak-anak di luar. Yuk," katanya.

"Hah? Di luar mana?"

"Di deket tempat parkir," jawab Arsya. Gue mengikuti langkahnya keluar dari Bloody Mary sambil mengetik pesan di grup The Eyeless Pandora. Sekadar untuk ngasih tau keberadaan gue ke Garin, Irgi, Cakra, dan Kandi.

"Eh, Sya, pada ngapain di parkiran? Mau jalan abis ini?" tanya gue. "Tadinya sih kita mau tetep di dalem. Tapi kayaknya agak ribet, Gra," jawab Arsya.

Belum lagi gue menjawab, gue sudah melihat teman gue seperti Pandu, Mayla, Edo, Nura, Jati, Astrid, Tami, dan Geri menunggu. Bahkan, Emir, pacarnya Astrid juga ada.

"Pada ngap..." langkah gue berhenti saat melihat kue di tangan Astrid. Makin diem pas mereka semua mulai nyanyi Happy Birthday buat gue.

Mimpi apa gue dikasih surprise dua kali, sama The Eyeless Pandora dan temen-temen kampus gue. "Selamat ulang tahun, mas drummer kebanggaan angkatan, hahaha..." Arsya menepuk pundak gue setelah gue meniup lilin yang menancap di kue.

"Hehe, makasih ya, guys. Idenya siapa nih?" tanya gue sambil menggaruk kepala yang sebenernya nggak gatel. "Ide rame-rame sih, Gra. Eh, yuk foto-foto dulu," ajak Astrid sambil menyerahkan piring berisi kue ulang tahun gue.

"Bentar, bentar, ini siapa yang fotoin?" tanya gue saat teman-teman gue mulai berkumpul. "Ada Emir kok. Mir, a little help, please?" jawabnya, lalu menatap Emir.

"Eh, Mir, apa kabar?" tanya gue. "Baik, Gra. Sukses ya," dia menepuk pundak gue. "Tengkyu, tengky--eh, gue berdiri di mana nih?"

"Di tengah, lah, kan elo yang ulang tahun!"

"Udah siap belom?"

"Belom, belom, rambut gue belom bener!"

"Coba yang kiri lebih dempetan. Nah, cakep. Satu... dua... ti.... Sekali lagi ya?"

"Boomerang dong, Boomerang!"

"Satu, dua, ti.... Oke sip!"

"Eh bentar, pake kamera gue juga dong,"

"Buset gue udah kayak artis,"

"Baek-baek diaminin malaikat, Gra, hahaha..."

***

Kenapa ya kalo abis kuliah tuh pasti laper banget, padahal paginya udah sarapan? Entahlah. Yang jelas saat ini nggak ada yang lebih gue inginkan selain cepet pesen makan.

Duh, beli nasi Padang enak kali ya pas lagi laper begini.

Untungnya beberapa temen gue yang udah lebih dulu sampe kantin langsung ngetek tempat, jadi gue nggak usah ribet nyari tempat duduk lagi.

Jadilah nggak sampe 10 menit kemudian gue sudah duduk manis menikmati seporsi nasi dan ayam bakar pesanan gue. Enak banget, lho.

"Gra, ini punya lo ya?" gue mendongak dan melihat Astrid tengah menunjuk tote bag berisi stik drum di sebelah gue. "Hmm? Iya, Cit. Mau duduk ya?" sahut gue sambil memindahkan tas gue itu.

"Thank you," Astrid meletakkan tasnya dan duduk di sebelah gue. "Lo bawa tumben bawa stik drum banyak banget, Gra? Jualan?"

Berhubung nanti sore The Eyeless Pandora mau latihan, gue akhirnya bawa beberapa cadangan stik drum. Soalnya, terakhir gue cek sih, stik drum gue yang biasa udah mulai agak reyot.

Kalo tuh stik drum tiba-tiba memutuskan pensiun (baca: patah) di tengah latihan kan ribet ya.

Gue menggeleng. "Buat dipinjemin, Cit, kali aja ada yang butuh sumpit buat makan mie ayamnya Bu Dedeh," jawab gue seraya mengelap mulut. Astrid spontan tertawa terbahak-bahak, sementara teman-teman di sekitar kami menengok kaget.

"Lo receh banget sih, Cit," Mayla geleng-geleng kepala melihat badan Astrid terguncang karena menertawakan joke garing gue tadi.

"Kasih tukang parkir aja kalo receh-receh gini mah," gue menimpali, yang langsung dijawab Astrid dengan cubitan pelan.

"Sakit ah. Lo nggak makan?" tanya gue saat melihatnya masih sibuk dengan ponselnya. "Bingung mau makan apa. Traktir dong,"

"Ngomong gampang bener lo ya,"

"Lah yang kemarin abis manggung di Bloody Mary siapa? Bisalah traktir gue udon," dia menatap gue sambil nyengir. Gue tertawa. "Sori, gue udah nraktir kucing gue duluan," sahut gue pelan.

"Keterlaluan kamu, Wigra Dwi Setya," katanya sambil beringsut bangkit. "Mo beli apaan lo jadinya?"

"Pesen siomay aja," jawabnya singkat. Gue melanjutkan makan sementara Astrid memesan siomay. Sesekali gue mendengar ponselnya--yang dia taruh di meja--berbunyi tanda ada pesan masuk. Biar dia cek sendiri aja nanti.

Astrid kembali beberapa saat kemudian. "Tadi ada yang nelpon gue nggak, Gra?" tanyanya. "Kayaknya WhatsApp doang deh, Cit. Cek aja," jawab gue sambil menyelesaikan suapan terakhir nasi gue. Akhirnya kenyang juga. Semoga abis ini bukannya malah ngantuk ya.

Dia meletakkan piring siomaynya, lalu mengambil ponsel. Gue? Masih meneguk air putih banyak-banyak biar nggak se...

"Lah, lo mau ke mana itu siomay belom dimakan?" tanya Nura ketika Astrid malah mengemas tasnya. "Mendadak nggak laper lagi gue. Kasih siapa aja yang belum makan deh. Gue mau ke..." Astrid berhenti sebentar dan tanpa sadar mengacak rambutnya.

"...mau balik aja," katanya.

Jadwal angkatan kami hari ini emang cuma sampe jam 12 sih. Tapi bukan Astrid namanya kalo nggak nongkrong dulu di kantin sampe siang, minimal cuma buat main capsa. Habis itu balik nebeng gue naik motor sampe halte stasiun atau disamperin Emir.

"Gra, lo nggak balik sekarang ya? Nggak bisa nebeng sampe depan dong ya gue," tanyanya. Gue menggeleng. "Ada latian nanti sore,"

Dia mendesah pelan. "Ya udah, gue naik taksi aja deh," ujarnya, lalu berpamitan ke kami semua. "Cit," panggil gue. "Udah, sini gue anterin ke depan," gue menatapnya.

"Makasih ya, Gra," jawabnya lirih saat kami meninggalkan kantin.

Kami sedang berjalan bersisian menyusuri koridor menuju parkiran motor ketika akhirnya gue bertanya. "Jadi lo kenapa tiba-tiba mogok gitu?"

Bukannya menjawab, Astrid malah melirik gue seolah bertanya maksud lo apaan sih?

"Kalo suka pura-pura bego nanti lo bego beneran lo," gumam gue. Astrid, dengan segala kerecehannya, tertawa tertahan sambil menunduk mendengar ucapan gue. Dan betapa terkejutnya ketika melihat ekspresinya saat ini.

"Cit, gue salah ngomo..."

"Gra, lo latian sama abang-abang lo jam berapa?"

"Jam 4," gue mengernyitkan kening. Makin penasaran. "Temenin gue yuk. Gue butuh ceri..." kata-katanya putus ketika mendadak matanya berkaca-kaca.

Mampus gue.

(to be continued)

The Eyeless PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang