A Broken Man (epilogue)

2.2K 298 56
                                    

Untuk pertama kali, gue mendingan disuruh jadi moderator diskusi di kampus, nari-nari di depan umum, atau ngulang presentasi makalah di depan dosen paling killer ketimbang harus nyetir ke rumah Lyanna.

Tapi gue harus melakukan perjalanan ini. Mau sampai kapan kami diem-dieman dan nggak ketemu? Gue menolak sepenuh hati usulan Lyanna untuk nggak ketemu sementara. Diem nggak bakal nyelesaiin apa-apa. Jadi gue harus buktiin kesungguhan kata-kata gue.

Dan gue kangen banget sama Lyanna. Gue kangen bisa bicara sama dia soal apapun, meluk dia, bikin dia ketawa... apapun yang nggak pake berantem.

Tanpa sadar gue mencengkeram setir erat-erat. Bahkan mobil ini punya terlalu banyak kenangan soal Lyanna.

Tentang perjalanan yang kami lalui dan perbincangan-perbincangan di dalamnya. Tentang tawa Lyanna dan pukulan-pukulan kecil yang mendarat di bahu gue kalau dia kesal atau gemes. Tentang dia yang gantian nyetir kalo gue kecapekan, atau waktu gue sakit tempo hari.

Tentang wangi parfumnya yang kerap masih tertinggal setelah dia turun. Tentang kursi belakang yang nggak cuma sekali-dua kali jadi lokasi make-out session kami.

"I know you've been loving me, but sorry I'm a bad boy/Yeah, you're probably better off without me, you're a good girl/I can see that you were disappointed in me/As you got to know me better..."

Bangsat. Kenapa juga ini radio nyetel lagu liriknya nyindir begini? Gue spontan mematikan radio.

My God, I miss Lyanna a lot. Gue ingin mendapatkannya kembali. Bukan cuma demi kenangan-kenangan selama pacaran, tapi karena gue tahu gue selalu ingin mencoba lagi sama dia. Karena sejak entah kapan, gue sadar gue nggak mau kalo nggak ada dia.

Iya, gue egois emang. Tapi gue percaya ada beberapa hal yang layak diperjuangkan, termasuk perasaan gue ke perempuan kesayangan gue yang satu itu.

***

Mamanya yang bukain pintu buat gue. Ngeliat senyum Tante Rika, ada sebersit perasaan nggak enak. Tahukah beliau kalau gue dan putri bungsunya lagi berantem?

"Lyanna ada, Tante?" tanya gue. "Ada kok, tuh lagi di dalem. Langsung masuk aja," gue baru sadar kalau dia lagi siap-siap mau pergi.

"Tante mau ke mana?"

"Ke kosan Nico. Biasalah, nengokin sebentar," Tante Rika menyebut nama kakak sulung Lyanna. "Tante tinggal dulu ya? Kalau lapar, ada bitterballen di meja makan. Abisin aja,"

"Iya, Tante, makasih,"

"Ma, liat tas adek yang biru nggak?" suara familiar itu terdengar dan gue melihatnya keluar ke teras. God damn it. Kangen banget gue sama dia. Pengen peluk.

Tapi kayaknya kalo gue langsung peluk, gue bakal kena gampar Lyanna dan sambitan tas Tante Rika. Jadi gue menahan diri, nggak peduli walau sikap gue pasti langsung kaku kayak lap mobil kering.

Tante Rika menatap kami bergantian, seperti menebak-nebak, sebelum menjawab pertanyaan Lyanna. "Ada di lemari kok, Dek. Kalau nggak, coba cari di kamar Mama," katanya, lalu kembali melirik gue.

"Bikinin minum juga buat Irgi. Mama pergi dulu," Gue dan Lyanna berdiri cukup lama menunggu mobil Tante Rika menjauhi rumah.

"Kamu nggak ke P&B?" tanya gue. Lyanna menggeleng. "Libur," jawabnya singkat. Gue mengangguk.

"Maaf ya aku baru tau kamu diterima. Selamat ya, L,"

"Makasih," dia mengangguk. "Ada apa ke sini?" akhirnya Lyanna buka mulut, meski dia masih tidak menatap muka gue.

The Eyeless PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang