Worlds Apart: Depok-Salemba

1.5K 272 16
                                    

Gue nggak bisa nggak ikut bersorak saat tembakan Gerald menjebol ring kubu lawan kami dan wasit meniup peluit tanda pertandingan selesai.

Gila, men, jurusan gue dapet emas Olimpus buat basket! Padahal kita cuma nargetin semifinal, ternyata malah dapet medali. Ngalahin juara bertahan pula, jurusannya Cakra, pas di empat besar.

Ya namanya selebrasi juara, pastilah suporter langsung turun ke lapangan dan meneriakkan yel-yel jurusan. Termasuk gue juga.

Di tengah kegembiraan gue, ada juga rasa lega. Kelar juga tugas gue jadi koordinator angkatan buat Olimpus.

Huft. Bukannya gue nggak seneng ya dikasih amanah begini, tapi kalo sering pulang malem dan nggak sekali-dua kali nginep buat memantau pertandingan kan capek juga.

"Ndi, nggak ikut ngumpul dulu? Ayolah, tuh si Gerald, Fian, sama temen-temen lo yang lain juga nongkrong dulu," kata Bang Tiar, Kepala Divisi Bidang Olahraga himpunan mahasiswa jurusan kami.

Gue menggeleng. "Lewat dulu, Bang, mau ngejar kereta," kata gue. Ini sudah lewat Maghrib, semoga kereta jurusan Manggarai udah agak lega. Ya walau gue nggak berani ngarep juga sih.

"Balik ke mana sih?"

"Salemba, Bang,"

"Wah, beda arah kita. Gue ke Mampang. Kalo deketan bisa bareng kita," kata Bang Tiar. "Hahaha, santai, Bang. Ketemu besok pas evaluasi ya," gue berpamitan.

Untuk mencapai stasiun, gue harus jalan sekitar 4-5 menitan dan melewati jalan setapak di tengah hutan buatan di area kampus gue.

Untungnya, walau udah malem, area ini selalu diterangi pencahayaan yang cukup dan banyak orang lewat, makanya gue santai aja.

Gue baru mau menyeberang ke stasiun ketika ponsel gue berbunyi. Heh? Tumben Papa nelepon.

"Ya, Pa?" gue menjawab telepon tersebut. "Ndi, lagi di mana?" Papa pastilah mendengar suara mobil dan motor yang melaju di sekitar gue. "Di kampus, Pa, baru mau pulang,"

"Oh gitu," Papa terdiam sejenak. "Hati-hati pulangnya ya."

***

Dari seberang sana, Kandi bisa mendengar suara Papa mengangkat telepon. "Halo," nah itu dia. Nggak mungkin salah. "Papa ya? Pa, ini Kandi," kata Kandi antusias. "Eh, halo, Kandi. Kenapa?"

"Papa masih di kantor ya?"

"Iya,"

"Pulang jam berapa?"

"Sebentar lagi ya. Sekarang jam..."

"Jam 8," Kandi menyelesaikan kalimat Papa. "Nah, anak pinter. Papa satu jam lagi pulang kok. Mau dibawain apa?"

"Mau dibawain jeruk," jawab Kandi. Papa tertawa pelan. "Iya, nanti Papa bawain. Sekarang Kandi tidur dulu biar besok nggak kesiangan ke sekolah, oke?"

"Oke, Pa. Dadah, Papa."

***

Perlu waktu sekitar satu jam untuk gue supaya bisa sampai rumah. Setelah turun di Stasiun Manggarai, gue lanjut naik ojek sampai depan rumah di Salemba.

Biasanya sih kalo jam segini, Mama lagi selesai makan. Kadang sama Kak Widi kalo udah pulang kerja, kadang sama Mbak Tin, asisten rumah tangga yang udah ikut Mama sejak gue SMP.

Gue sedikit tertegun ketika melihat mobil Papa ada di teras. Tumben amat Papa udah di rumah.

Pintu rumah terbuka sebelum gue mengetuknya. "Pa," sapa sebelum mencium tangan beliau. "Baru sampe?" tanya Papa sementara gue mencopot sepatu.

The Eyeless PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang