Intermission 4/4 - Wigra

1.4K 259 120
                                    

Gue menoleh ke Edo sebelum mencapai pintu kelas. "Mau gue tungguin apa gimana?" gue bertanya ke arahnya.

"Duluan aja, Gra, ini laptop gue kok ngadat," jawab Edo. "Oke, ketemu di lapangan ya," sahut gue sambil meninggalkan ruang kelas.

Baru tiga langkah, gue melihat Kandi keluar dari ruangan kelas sebelah.

"Kandi," gue spontan mendekatinya. Kandi berhenti, urung menuruni anak tangga. "Hai, Gra," sapanya.

"Balik lo?" tanya gue. Kandi mengangguk.

"Iya, Gra. Duluan," jawab Kandi.

"Bareng lah," gue mengiringi langkah Kandi di sampingnya. "Bokap lo apa kabar?" tanya gue.

"Baik, Gra, cuma masih rawat jalan,"

"Berarti udah keluar rumah sakit?"

"Iya, alhamdulillah,"

"Alhamdulillah" gumam gue. "Trus lo sendiri gimana?"

"Nggak gimana-gimana," Kandi melirik gue sejenak. "Anak-anak apa kabar?" tanyanya.

"Nggak gimana-gimana," padahal sih selama periode UAS, gue belum sempet ketemu lagi sama Garin, Irgi, dan Cakra.

Kandi tertawa pelan mendengar gue menirukan ucapannya. Ya, seenggaknya, Kandi yang di depan gue ini bukan Kandi yang kalut dan galau di pertemuan terakhir anak-anak The Eyeless Pandora waktu itu.

"Kita masih nungguin lo kok, Ndi," tawa Kandi berhenti ketika gue mengucapkan kalimat itu. "Iya gitu?" tanyanya.

Gue mengangguk. "Iya. Sama lah, kayak pas lo nungguin gue waktu gue ada masalah sama bokap-nyokap gue."

Gue nggak mau maksain Kandi untuk segera balik ke The Eyeless Pandora. Kali aja emang dia butuh waktu. Bokapnya juga pasti lebih butuh dia.

Tapi gue juga berharap dia berhenti sembunyi. Setidaknya kasih kami kabar soal keadaannya.

Toh, mestinya nggak ada hal yang harus dia tutup-tutupin kan?

"Sori, Gra," kata Kandi. "Gue masih nggak bisa setelah audisi terakhir kita."

Ah iya. Audisi sialan itu lagi.

"Ndi..."

"Iya, gue tau kok, kalian udah bilang berkali-kali. Itu bukan salah gue," Kandi segera memotong ucapan gue. "Tapi gue nggak mau kayak gitu lagi. Gue nggak mau tampil ketika prioritas gue nggak di situ dan ngorbanin The Eyeless Pandora," tuturnya.

"Kita udah usaha terlalu keras buat bangun The Eyeless Pandora. Gue nggak layak maksain jalan sama band ini dengan setengah hati, karena bokap nggak..." dia berhenti.

"Nggak apa, Ndi?" gue mengernyit. Kandi cepat-cepat menggeleng. "Lupain, Gra," tukasnya.

Kami sampai di lantai 1. Artinya, gue dan Kandi bakal berpisah jalan; gue ke lapangan futsal dekat kantin, sementara Kandi lanjut jalan sampe stasiun kereta.

"Duluan ya, Gra," kata Kandi, sebelum gue bisa bertanya lebih lanjut.

"Ndi," gue menyergah. "Lo tau lo bisa ce..."

"Lo nggak pulang?"

Gue menghela napas. "Nanti, Ndi. Ada futsal sama anak-anak jurusan," jawab gue akhirnya.

"Oh," dia mengangguk. "Cabut ya," Kandi melambaikan tangan.

"Hati-hati, Ndi."

***

Beberapa jam kemudian, tidak lama usai adzan Maghrib

Gue meringis saat menempelkan plester ke lutut. "Itu kaki lo bener nggak kenapa-kenapa? Nggak terkilir atau gimana-gimana kan?" Bang Denny, senior gue, menatap khawatir.

The Eyeless PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang