Worlds Apart: Loose End

1.2K 250 23
                                    

15 menit sebelum Worlds Apart: Unburning the Bridge dimulai

Langit langsung mengangkat panggilan gue. "Ya, Kandi?" tanyanya. Mendengar urgensi di suaranya, gue jadi bertanya-tanya. Mungkinkah Langit juga nunggu kabar dari gue?

"Aku nggak ganggu kan?" tanya gue. Di tengah kesibukan gue bolak-balik kampus, rumah, dan rumah sakit, gue memang sering telat ngasih kabar ke Langit. Itu pun cuma lewat WhatsApp.

"Nggak kok, Ndi. Gimana?" dia terdiam sejenak. "Suara kamu kenapa bindeng, Ndi? Kamu nggak apa-apa kan?"

"Papa udah bangun, Nggit," gue merasa mata gue kembali panas, tapi cepat-cepat gue tahan.

Dari seberang sana, gue bisa mendengar Langit tercekat pelan. "Bener, Ndi?" suaranya bergetar.

"Iya, alhamdulillah, tadi pas aku sampe ternyata Papa udah bangun,"

"Alhamdulillah," cetus Langit. Gue bisa mendengarnya sedikit tersedak.

"Nggit?"

"Ma-maaf, Ndi. Aku cuma ikut lega aja," kata Langit cepat-cepat. "Semoga setelah ini Papa kamu kondisinya membaik terus ya,"

"Iya. Tolong bantu doanya ya,"

"Pasti," jawab Langit. "Kamu sendiri gimana? Baik-baik aja kan?"

Gue terdiam. Kalau Papa udah siuman, mestinya semuanya baik-baik saja kan? Harusnya semua kembali seperti semula kan?

"Iya, Nggit," kata gue akhirnya. "Aku cuma capek aja."

Langit mungkin tahu gue nggak sepenuhnya jujur. Tapi gue sangat menghargai responsnya yang hanya berupa: "Oh, bagus lah."

Maaf ya, Langit. Mungkin aku bisa cerita lebih lengkap kalo kita udah ketemu. Ada banyak hal yang sepertinya cuma bisa aku bagi ke kamu, kalau situasinya memungkinkan buat kita.

"Bener nggak apa-apa?"

Oke, mungkin omongan gue nggak cukup meyakinkan. Itu, atau dia yang sudah terlalu lama bareng gue untuk tau kapan gue jujur dan kapan nggak.

"Audisiku..." gue menghela napas. "Audisiku sama The Eyeless Pandora gagal, Nggit. Jadi ya..."

"Audisi... hah? Nggak mungkin, ah," jawab Langit setengah berseru. "Beneran, Nggit," kata gue.

"Trus gimana?"

Saat ngomongin ini sama Langit, gue sadar satu hal: mengakui kalo The Eyeless Pandora gagal ternyata nggak bikin semuanya terasa lebih ringan.

Mungkin karena ngebahas ini cuma bikin gue teringat obrolan gue sama Garin, Cakra, Irgi, dan Wigra tadi sore soal keputusan gue, serta raut muka mereka pas denger.

Langit Swastamita, apakah kamu siap denger kalo pacar kamu ini sudah sah jadi orang paling egois sedunia?

"Nggak gimana-gimana," kata gue. "Kamu lagi apa?" percakapan kami sejauh ini mendadak terasa terlalu berat untuk dilanjutkan.

"Abis cari tiket tadi, Ndi," perkataannya mengusik gue. "Abis UAS minggu depan aku pulang ya..."

Bahkan di saat seperti ini, gue ternyata masih punya alasan untuk tersenyum sejenak. "Aku tungguin. Selalu."

***

Beberapa hari kemudian

Gue menatap piring makan Papa yang nyaris kosong. "Tambah lagi, Pa? Atau mau Kandi ambilin apa gitu?"

"Nggak usah," Papa menggeleng, lalu menjauhkan piringnya. Gue otomatis berdiri dan mengambil piring tersebut. "Ya udah, Kandi beresin ya," kata gue.

"Ndi," panggil Papa ketika gue sedang menaruh piring dan gelas kotor di wastafel. "Kandi mau pergi?"

The Eyeless PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang