A Broken Man (part 4)

1.9K 320 42
                                    

"I can't do this alone. I can't take another step." - Matthew Murdock (Daredevil eps "The Ones We Leave Behind")

Bang Bagus
Gi. Dekanat akhirnya oke tuh. Proposal lo emang juara gue akuin haha. Btw, ada pesen dari panitia oprec, katanya mulai Selasa udah mulai boleh diambil tuh. Lo ngambil kan ya.

Gue membaca baris terakhir pesan Bang Bagus. Semua kerja keras gue selama seminggu... bukan, setahun terakhir di BEM akan bermuara ke situ. Open recruitment BEM angkatan baru.

Yang kalo semuanya lancar, bukan nggak mungkin gue jadi penerus Bang Bagus jadi ketua divisi gue sekarang. Atau jadi ketua BEM sekalian.

Irgi Ganindra Aryasena, ketua BEM fakultas. Ngeri.

Irgi
Wah baguslah kalo gitu. Ya selain proposal, lobinya juga pasti mantep kan
Soal oprec, ya Bang Bagus dulu lah, menuju BEM-1 hahahaha

Satu pesan lagi muncul.

Kandi
Hei, Gi. Nggak ganggu kan.
Gue cuma mau nanya aja. Lo nggak apa-apa kan? Semoga sih demikian ya. Apapun masalah lo, semoga cepet kelar. Lo-nya juga biar bisa lebih rileks.
Nanti gue kabarin di grup ya kapan kita latian lagi, oke?

Apakah gue baik-baik aja? Nggak tau, Ndi. Lagian, kalo gue dateng, apa masih pada mau latian bareng gue setelah kejadian kemarin?

Ketukan di pintu mengusik perhatian gue. Ternyata Mbak Ayas yang sudah berdiri di depan kamar gue. Dandanannya rapi. "Mau ke mana, Mbak?" tanya gue. "Jalan sama Dika. Mau nitip apa gitu nggak?" gue mengangkat bahu. "Terserah Mbak aja,"

"Ya udah. Gue beliin martabak aja ya? Tungguin gue pulang ntar malem," sahutnya, lalu mengacak pelan rambut gue. "Mbaaa...k, please lah," setiap ketemu Mbak Ayas, kakak semata wayang gue ini memang selalu menguyel-uyel gue. Dan gue nggak punya hak melawan. Nasib jadi anak bungsu, kayaknya.

"Saraswati," suara Papa memanggil dari bawah. "Ini ada Dika dateng,"

"Iya, Pa, ini udah mau turun kok," jawab Mbak Ayas, lalu kembali menatap gue. "Pergi dulu ya. Eh, itu muka jangan ditekuk terus gitu dong, jelek nanti. Dah!" dia mencubit pipi gue sebelum menuruni tangga.

Gue kembali memasuki kamar dan lagi-lagi mengambil ponsel. Sambil menelan ludah, gue memberanikan diri menghubungi salah satu nomor yang paling sering nongkrong di daftar outgoing call gue.

"Halo," Lyanna akhirnya menjawab setelah gue nyaris blingsatan nunggu dia ngangkat telponnya. "Hai, L," sapa gue. "Lagi di mana?"

"Rumah,"

"Sama dong," jawab gue. Padahal sih dia nggak nanya. "Nggak keluar?"

"Udah tadi, sama Kak Alya," Lyanna menyebut nama kakak keduanya. Gue meringis. Kami beberapa kali berantem, tapi belum pernah gue denger nada suara Lyanna sedatar dan sedingin ini. Biasanya dia selalu santai, tenang, dan sabar banget kalo bawel gue udah kumat.

"L..."

"Kenapa?"

"Kamu masih marah, aku tahu kok," dia diem aja. "Tapi aku butuh kamu percaya ke aku, L. Aku butuh ada yang yakinin kalo aku bisa ngejalanin ini semua."

Gue bisa mendengarnya mendengus. "Jadi, menurut kamu, aku ngasih saran itu nggak ngedukung ya?" tanyanya. "Aku ngomong kayak gitu karena aku nggak mau kamu sakit lagi atau kuliah kamu sampe kenapa-kenapa, Gi. Tapi kayaknya kamu nggak ngeliat maksud aku," tuturnya.

Gue mengacak rambut. "L, kamu tau kan, aku kayak gimana," kata gue. "Aku berusaha jalanin semua tanggung jawab aku. Ya di kampus, ya di BEM, ya di The Eyeless Pandora. Aku nggak bisa lepasin gitu aja,"

The Eyeless PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang