Lokasi: Studio band langganan The Eyeless Pandora
Gue bisa melihat wajah keheranan Kandi saat membuka pintu studio. "Hai, Ndi," gue menyapa pelan. "Gue nggak salah baca jadwal kan?"
"Siapa, Ndi?" terdengar suara Garin dari dalam. Kandi ragu-ragu sejenak sebelum menjawab. "Ngg, Irgi, guys."
Hening sejenak. Lalu gue bisa mendengar langkah kaki tergesa mendekat. "Irgi?" sosok jangkung Garin muncul di sebelah Kandi. Di belakangnya, Cakra dan Wigra ikut melongok.
"Hai. Bener kan ada latihan? Boleh ikut?" tanya gue. "Bo-boleh dong, Gi. Masuk sini," Cakra memanggil gue.
Sambil mencangklong gitar gue yang melorot dari bahu, gue menatap Garin, Cakra, Kandi, dan Wigra bergantian. Lalu tiba-tiba omongan Papa terngiang.
"Nggak ada yang salah dengan mengakui kalau kamu tidak sanggup. Mengakui kekurangan dan kesalahan sendiri tidak akan bikin kamu terlihat konyol atau lemah, Dek."
"Maaf kalo gue dateng dadakan begini dan nggak pake ngomong di grup. Maaf juga kalo sempet bikin persiapan kita berantakan. Gue tahu gue salah. Karena itu, gue berharap kalian masih mau nerima gue di The Eyeless Pandora," tutur gue akhirnya.
Hening lagi. Langka banget personel The Eyeless Pandora bisa anteng begini, walau sayangnya bukan karena hal positif.
Dan gue sungguh merasa jadi orang paling brengsek karena udah bikin situasi kayak gini.
"Ya Irgi tuh kayak leader kita sih jatohnya," gue inget kata-kata Cakra ketika kami diwawancara di radio kampus beberapa bulan lalu. Leader apaan macam gue.
"Gi," betapa leganya gue ketika akhirnya Wigra ngomong. "Lo nggak apa-apa? Gimana dengan..." walau Wigra nggak meneruskan kalimatnya, gue tahu yang dia maksud.
"Nanti gue ceritain," mendadak perut gue kayak mules pas ngomong itu.
Kayaknya karena teringat gimana gue malah nyaris kehilangan hal-hal yang gue pedulikan: nilai gue di kampus, The Eyeless Pandora, sampe kegiatan gue di organisasi.
Dan Lyanna.
Tapi gue nggak mungkin selesaiin semuanya sekaligus.
"Ya udah. Gimana kalo kita latian dulu aja? Kosan gue siap menampung kalian semua abis ini kok," Cakra mengusulkan. Garin masih tampak ragu saat menatap Irgi. "Dude, kalo lo pada akhirnya..."
"Gue akan jelasin nanti, Rin. Yang jelas, gue akan perform bareng kalian dua minggu lagi," jawab gue. Gue sungguh nggak pengen berantem (lagi) sama semua orang di sekitar gue.
Garin mengangkat bahu. "Suit yourself, Gi. Mulai latihan sekarang?"
Kami mengambil posisi masing-masing. Hitungan Wigra jadi aba-aba untuk The Eyeless Pandora melatih lagu yang sudah kami sepakati.
***
Kurang lebih 1,5 bulan sebelumnya...
Sebenernya agak nggak enak sih main ke ruang BEM. Ya gimana, abis gue udah berapa kali bolos karena kuliah tambahan, kuis, sampe latihan sama The Eyeless Pandora.
Untungnya BEM fakultas gue cukup toleran. Buktinya, kehadiran gue masih disambut baik oleh para pengurus lainnya untuk rapat kali ini.
"Eits, ada artis kampus. Buruan minta tanda tangan!" kata Bang Sammy, ketua BEM periode saat ini sambil menyalami gue. "Hahaha, gue aminin aja deh, Bang," jawab gue sekenanya sebelum duduk di sebelah Bang Bagus, ketua divisi gue bernaung di BEM fakultas.
"Gimana, Gi? Nggak apa-apa kan gue culik bentar?" tanyanya sambil menepuk pundak gue.
"Woelah, kayak apaan aja, nggak lah," gue lagi-lagi tertawa. Ruangan BEM ini mungkin jadi comfort zone gue selain bareng The Eyeless Pandora.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eyeless Pandora
Short StoryLima laki-laki dan lima jalan hidup berbeda, dipertemukan dan saling menemukan dalam kelindan mimpi yang sama. Dengar mereka bercerita soal hidup, musik, cita-cita, cinta, luka, menerima, memaafkan, serta serangkaian perjalanan yang menempa untuk j...