Sorenya Garin

1.5K 287 51
                                    

Cewek itu tidak menjawab. Dia hanya menatap gue dan Cakra bergantian sambil tersenyum kaku.

Cakra melirik gue sejenak, sebelum mengulurkan tangan ke cewek itu. "Hai, gue Cakra," katanya, dan cewek itu membalas dan menyebut namanya.

"Dinda," ucapnya singkat, lalu menjulurkan tangan ke gue. "Garin," gue menjabatnya cepat. Sori ya, tapi gue masih empet banget kalo inget hoodie gue basah, padahal baru aja selesai diseterika sehari sebelumnya.

Trus bisa-bisanya gue ketemu culprit-nya di sini. Kebetulan macam apa, coba.

Dia tersenyum kaku, lalu menunjuk tikar di belakangnya. "Ini kita technical meeting sambil lesehan gini nggak apa-apa kan ya?" tanyanya sembari menyilakan gue dan Cakra duduk.

"No problem," jawab Cakra. "Yuk, Rin," katanya. Gue mencopot sneakers sebelum duduk.

Gue dan Cakra menghabiskan sekitar satu jam di pertemuan hari itu. Ya selain ngingetin rundown acara, panitia juga ngasih tau soal ukuran panggung, lokasi, jadwal rehearsal, jadwal manggung, dan jatah tampil tiap pengisi acara.

The Eyeless Pandora bakal kebagian lima lagu. Lumayanlah.

"Lo langsung balik, Rin?" tanya Cakra setelah pertemuan itu selesai. "Iya nih, besok kuliah pagi lagi gue. Lo ke kosan?"

"Ke perpus bentar paling," obrolan kami terputus ketika Dinda muncul di depan kami. "Ya? Kenapa?" tanya gue.

"Ehm, makasih ya udah dateng hari ini. Kalo misalnya ada yang kurang jelas atau gimana, boleh langsung hubungin gue ya. Kayaknya Kak Irgi udah punya nomor gue," ujarnya tersenyum.

"Oh oke, sip kalo gitu," jawab Cakra. "Sama satu lagi, misalnya The Eyeless Pandora butuh tempat latian deket-deket hari H, di sini kita ada studio band kok. Hubungin gue aja, nanti gue bantu cari slot kosong,"

"Wah kebetulan. Nanti kita hubungin lo deh sekiranya butuh. Thanks ya, Dinda,"

"Sama-sama. Kalian mau balik atau..."

"Iya nih, udah jam segini juga," gue menyela. "Oke kalo gitu. See you around," Dinda berpamitan ke kami sambil tersenyum. Gue dan Cakra baru hendak berpaling ketika terdengar suara orang jatuh, diikuti jeritan beberapa cewek di sana.

Gue menengok dan Dinda tergeletak di belakang kami. "Aduh, sori, gue kesandung karpet!" dia berseru ke beberapa temannya yang mendekati.

Gue cuma bisa geleng-geleng kepala.

"Sloppy."

***

Keesokan harinya

"Halo? Iya, Pak, posisinya di mana? Oh, oke, oke, nggak masalah. Nanti saya nunggu di lobi. Pakai kemeja kotak-kotak sama topi, Pak. Oke, siap. Makasih, Pak," gue mengakhiri percakapan dengan sopir taksi online yang hendak menjemput gue.

Berhubung Mama dan Kak Nay pergi seharian, gue akhirnya nyari makan di mal deket kampus sebelum pulang. Sparing me from the hassle of thinking about what to eat later.

Sambil menenteng plastik berisi roti tawar titipan Papa, gue berjalan santai menuju lobi mal menunggu sopir yang bakal menjemput gue datang. Sebuah tepukan pelan di punggung mengalihkan perhatian gue.

"Dompetnya jatuh, Mas," seorang cewek menyodorkan dompet gue. "Hah? Oh, shoot. Makasih ya, Mba..." gue terhenti ketika menyadari betapa familiarnya wajah cewek tersebut. "Lho, Dinda. Makasih ya," gue mengulang.

"Garin?" dia mengangkat alis. "Ummm, yeah?" gue mengangkat bahu sambil tersenyum garing. "Eh, gue duluan ya. Mau balik kampus," katanya sebelum berlalu menenteng tas plastik dan tote bag kanvas.

The Eyeless PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang