Pada Sebuah Hujan

1.9K 285 28
                                    

Senin, jelang jam makan siang, di sebuah ruangan kelas

Gue bersandar di tembok dekat papan tulis menatap Haikal dan Katrin, dua temen seangkatan gue, yang sedang bergantian ngomong di depan para mahasiswa baru.

"Dari gue intinya sama kok sama Katrin tadi. Gue heran aja, katanya terima japrian soal rapat persiapan Olimpus, trus angkatan kalian nggak ada yang dateng," tanya Haikal.

Sebenernya gue males nyamperin junior gue soal urusan begini. Emang pada nggak malu ya diomelin karena masalah sepele?

Cuma, ya, berhubung status gue mantan koordinator angkatan untuk Olimpus waktu jaman maba, jadilah gue diminta ikut.

Tapi gue lebih suka ngebiarin Haikal sama Katrin yang ngomong. Haikal ketua himpunan mahasiswa, sementara Katrin Kepala Divisi Bidang Olahraga. Mereka lebih berhak.

"Di antara semua angkatan yang masih aktif, ini baru angkatan kalian lho yang belum punya koordinator. Coba liat jurusan-jurusan lain udah pada punya dari kapan tau," kata Katrin.

Gue berdehem. "Percaya deh, guys, jadi koordinator tuh nggak susah. Lo cukup daftar temen-temen lo yang mau ikutan jadi pemain, trus..." mata gue mendadak tertuju ke bangku barisan belakang.

"Itu yang di belakang, boleh nggak gantian ngomong?" gue tidak tahan untuk menyergah. Mata gue menatap ke oknum yang terciduk ngobrol. Dua cowok dan dua cewek.

"Kalo emang ada yang masih mau dibahas, bilang dari tadi. Kita tungguin kok.Ya kan?" kata gue sambil maju ke sebelah Haikal.

Empat junior gue itu membisu. "Kok diem? Ini udah kita tungguin lho," gue masih menatap mereka semua, sementara Haikal dan Katrin hanya geleng-geleng kepala. "Udah boleh gantian?" tanya gue lagi.

Gue nggak pernah marahin orang tanpa alasan, apalagi hanya demi nunjukin ego. Tapi kalo sudah ada yang nggak tertib atau nggak bisa diatur, baru gue maju.

"Tuh, kan, dengerin kata Irgi. Udah boleh gantian ya ngomongnya?" ujar Haikal setelah melihat tidak ada yang bereaksi. "Jadi gimana, kalian mau nunjuk sendiri koordinator angkatan atau gue tunjuk?"

Gue memperhatikan diskusi singkat para junior gue ini saat WhatsApp gue berbunyi.

Cakra
Gi, di mana? Sama Lyanna?

Irgi
Lagi di gedung D. Gue belom ketemu dia malahan.

Cakra
Lah ke mana tuh anak
Tadi nggak ikut dua kelas

Hah? Seorang Lyanna bisa bolos kuliah? Gue mengernyitkan kening. Lalu gue mendadak teringat, Lyanna juga nggak ngebales WhatsApp gue.

Gue pikir karena dia emang lagi ada shift hari Minggu, jadi nggak sempet ngecek ponselnya. Tapi sampe tadi pagi dia nggak ngebales.

Setelah berpamitan ke Haikal dan Katrin, gue langsung keluar dan menelepon Cakra. "Cak, kenapa?"

"Ini, harusnya tuh ada paper yang dikumpulin tadi. Trus dosennya nyariin Lyanna, tapi kita nggak ada yang tau dia ke mana," tanpa sadar gue memijat pelipis gue.

"Gue... gue juga nggak tau dia ke mana," gumam gue. "Nggak apa-apa, Gi, tadi Kezia juga udah WA dia, cuma belum dibales," kata Cakra.

Tapi omongan Cakra itu belum cukup buat bikin gue nggak blingsatan. "Ya udah, gue juga coba telpon dia deh," gue segera men-dial nomor Lyanna. Please, jangan bilang nih anak lupa bawa ponselnya.

"Halo," akhirnya Lyanna menjawab panggilan gue. "Lyanna di mana?" tanya gue, berusaha mengatur suara agar terdengar biasa aja.

"Mau ke jurusan, Gi, nyetor paper," jawabnya. Nada suaranya sama seperti yang selalu gue denger beberapa hari ini. Lesu dan males-malesan. "Oh gitu. Aku samperin ke sana ya? Kamu belum makan kan?"

The Eyeless PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang