Mau nggak mau gue mengernyitkan kening melihat pemandangan di depan gue. Kak Nay lagi duduk di ruang tamu, mindlessly scrolling something on her cellphone.
"Ngapain lo, Kak?" dia nyaris terlonjak mendengar sapaan gue. "Geez, you almost give me heart attack, Rin," sergahnya, sementara gue tertawa sambil mencopot ransel gue. "I thought someone's who's getting engaged should go to bed early, Kak," kata gue.
Kak Nay hanya mengangkat bahu. "Baru jam segini. Malu sama Cinderella,"
"Ya Cinderella stay sampe jam 12 malem, tapi bukan langsung dilamar besoknya kan. There was a gap of time before the Prince..."
"Are we seriously talking about Cinderella?" tanyanya sambil tertawa, lalu melempar bantal kursi ke arah gue. Dodged that. Ha. "Lo sendiri baru pulang jam segini, abis main?"
"Nope. Band practice," jawab gue. "Ah, I see," gumam Kak Nay. "Tenang, Kak. Gue udah nyimpen suara buat besok," I winked at her. Kak Nay lagi-lagi tertawa. "That stupid wink aside, makasih deh. I owe you one," ujarnya, lalu menyusul gue ke ruang makan.
Sebagian besar ruang tamu dan ruang keluarga rumah keluarga gue udah didekorasi dan ditata ulang. Beberapa perabot sudah dipindahkan posisinya, bunga-bunga nuansa pastel diletakkan di beberapa spot di rumah.
Belum lagi tenda dan kursi-kursi yang dipasang di teras. Semua untuk hari istimewa Kak Nay besok.
Where does time go by, anyway? Perasaan gue baru kemarin rebutan potongan pizza terakhir sama kakak gue ini di rumah kami di LA. Tau-tau besok udah ada yang dateng aja ngelamar dia.
"Kak," kata gue. "Still freaked out?" gue mengacu ke obrolan kami minggu lalu, ketika kakak gue tiba-tiba curhat soal kecemasannya.
"Oddly enough, udah nggak," jawab Kak Nay. "Ya tinggal berharap semua lancar. What could possibly be wrong?" dia mengangkat bahu. "Be there for me ya," dia mengelus lengan gue.
"Ya iyalah. I'm your special singer,"
"Bukan, bukan itu," Kak Nay menggeleng. "Tapi, lo di deket-deket gue sama Papa dan Mama ya. Be there as my support system. As my family. As my brother,"
Gue mengangguk sambil menepuk bahunya. "I can only do as much, but you can count on me, sis," jawab gue, lalu merangkulnya.
"Thanks," gumam Kak Nay. "Oh iya, Rin, baju buat lo pake besok kayaknya udah ada di kamar tuh, tadi abis diambil dari laundry," kata Kak Nay.
"Alrighty, sis,"
Dia memandangi gue sejenak sebelum menyentuh rambut gue. "Kayaknya kalo lo mau potong rambut udah nggak sempet ya, Rin?"
"Haha, iya, gue lupa," gue ikut mengacak rambut yang mulai panjang. "Gue bisa aja sih ke salon terdekat," tiba-tiba gue teringat beberapa tahun lalu Kak Nay pernah motongin rambut gue di rumah karena gue lupa.
Potongannya agak absurd sih, tapi untung bisa gue tutupin pake beanie hat.
"Nggak usah. Nanti kemaleman," kata Kak Nay. "Tapi besok sisiran yang bener ya?"
"You got me."
***
So, dua minggu berturut-turut gue bangun pagi di hari Sabtu. But trust me, kali ini gue ikhlas kok. This is the least thing I could do for my big sister.
Jadilah gue, Sabtu pagi begini udah berdiri di depan cermin di kamar gue, pake batik biru yang dijahit di tukang jahit langganan Mama. Sambil ngerapiin rambut tentunya. Remind me to cut my hair ASAP, folks.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eyeless Pandora
Short StoryLima laki-laki dan lima jalan hidup berbeda, dipertemukan dan saling menemukan dalam kelindan mimpi yang sama. Dengar mereka bercerita soal hidup, musik, cita-cita, cinta, luka, menerima, memaafkan, serta serangkaian perjalanan yang menempa untuk j...