"...and the man breaks." - Septon Meribald (A Feast for Crows)
Lyanna mengangkat telepon gue pada panggilan ketiga. "Ya, Irgi," suaranya terdengar dari seberang. "Udah tidur?" tanya gue.
"Belom. Kamu kenapa belom tidur?"
"Pengen nelpon kamu," jawab gue. "Nggak bakal ngomel kayak kemarin kan?" gue baru bisa menghubungi Lyanna kemarin setelah jam 8, alias ketika dia sampe rumah dan men-charge ponselnya yang mati saat dia di jalan.
"Nggak kok. Maaf ya kemarin aku ngomel-ngomel kayak dosen bawel. Makanya aku nelpon kamu lagi."
Selain dia jemput gue waktu sakit tempo hari, belakangan gue dan Lyanna lebih sering ngobrol di telepon dan WhatsApp karena susah ketemu. Makanya gue blingsatan begitu dia nggak bisa dihubungin.
"Ya udah," jawabnya. Sejenak kami terdiam. "L?" tanya gue. "Kok diem?"
"Kamu lagi kenapa?" gue mengernyit mendengar pertanyaannya. "Gimana, maksudnya?" Lyanna menghela napas. "Nggak tau. Feeling aja kalo kamu lagi banyak pikiran. Trus..." dia tidak jadi melanjutkan. "Trus apa?" gue mencoba mengejarnya.
"Trus, kayaknya tiap ketemu kamu, muka kamu ketekuk terus. Serius mulu,"
"Masa sih?"
"Irgi, kamu tuh paling nggak bisa poker face ya. Kalo nyanyi aja ketahuan lagu sedih apa lagu seneng juga dari muka kamu," gue tidak sanggup menahan tawa mendengar kata-kata Lyanna.
"Ya itu kan buat menjiwai, sayang," dia ikut tergelak. "Ya kalo udah bapak lead vocal dan gitaris The Eyeless Pandora yang ngomong, L bisa apa. Tapi serius, Gi, kamu lagi ada apa sih?"
Gue menghela napas dan akhirnya semua cerita mengalir begitu saja. Teguran Mbak Firda dan gimana gue sejak saat itu berusaha untuk menebus nilai jelek gue.
Bolak-balik kosan-kampus-ruang BEM-ruang latihan sama The Eyeless Pandora. Soal latihan tadi sore yang--bagi gue--belum maksimal. Belom lagi progres kerja sama BEM.
"Aku nggak bisa kalo liat ada yang nggak bisa kerjain seperti yang aku kasih tau. Kan kalo ada yang nggak ngerti atau nggak bisa ya tinggal ngomong. Masa ujung-ujungnya harus aku lagi yang kerjain," gue mengakhiri cerita gue.
"Hmm, gitu... " gumam Lyanna. Itu pertama kali dia ngomong sejak beberapa menit terakhir; sebelumnya dia cuma dengerin gue. "Udah pernah diomongin belom, Gi? Kan kamu bisa bilang 'kalo ada apa-apa, tanya aja,' atau kamu kasih contoh apa kek gitu,"
"Ya nggak bisa dong, L. Anak-anak BEM kan udah pada gede. Masa masih harus diajarin juga?"
"Iya, tau. Tapi kalo mereka sebelumnya nggak punya pengalaman ngurusin beginian, nggak bisa disalahin juga sih. Kecuali kalo udah dijelasin berkali-kali trus salah juga, nah..." tanpa sadar gue mengacak rambut gue.
"Makasih ya, L," cuma itu yang bisa gue ucapkan. Kadang, kalo udah mumet, hal-hal simpel kayak gini kenapa nggak kepikiran, coba.
"Aku sampe lupa nanya. Kemarin kamu interview-nya gimana buat yang part time?" ternyata Lyanna ditelepon sama manajer Pages and Bookmarks buat wawancara.
Lyanna kemarin ke sana sama Kezia, temen sekampusnya, sebelum lanjut nongkrong dengan beberapa cewek angkatannya.
Dan gue juga baru inget sekarang. Maafin pacar kamu ini ya, L.
"Ya gitu deh. Nanya kuliah di mana, semester berapa, masalah nggak kerja pas weekend, trus disuruh jelasin suka baca buku apa," jawabnya.
Karena Lyanna sering ngendon di perpus demi ngerjain tugas, dia sempet jadi volunteer buat bantuin pustakawan di kampus kami waktu libur semester untuk nyortir buku yang baru dateng.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eyeless Pandora
ContoLima laki-laki dan lima jalan hidup berbeda, dipertemukan dan saling menemukan dalam kelindan mimpi yang sama. Dengar mereka bercerita soal hidup, musik, cita-cita, cinta, luka, menerima, memaafkan, serta serangkaian perjalanan yang menempa untuk j...