Gue berdiri mematung memandangi Irgi. Hal pertama yang muncul di benak gue adalah: oh, shit.
"Ma-masuk, Gi," ajak gue gelagapan. Irgi menggeleng. "Di sini aja. Takut ganggu," jawabnya.
"Ya udah. Duduk lah," kata gue sambil menunjuk kursi di teras. "Mau minum apa?"
"Apa aja yang nggak nyusah..." ucapan Irgi berhenti saat melihat ke belakang gue. Ternyata Kak Widi datang membawakan dua gelas minuman bersoda untuk kami.
"Kalo ngobrolnya bakal lama, pindah ke dalem aja ya," kata Kak Widi sebelum berlalu, sementara Irgi mengucapkan terima kasih.
Teras kembali hening setelah Kak Widi pergi. Cuma suara Irgi meneguk minumannya.
"Eh lo mau ngemil nggak? Ada bakpia. Biasa, dibawain Langit,"
"Nggak usah, makasih. Langit udah balik Jakarta?"
"Udah, tadi udah ke sini bahkan,"
"Yah, sayang nggak ketemu ya," jawab Irgi.
Pikiran gue berlomba. Ngapain Irgi ke sini? Mau ngomong apa? Garin, Cakra, Wigra tau nggak soal ini?
"Sendirian?" tanya gue. Irgi mengangguk.
"Begitulah," jawab Irgi, lalu melirik gue sejenak. "Sori gue nggak ngabarin lo lebih dulu ya, Ndi. Abis lo kayaknya sibuk banget ya?"
"Nggak apa-apa," gue sangat paham maksud kata-kata Irgi itu.
"Bokap gimana?"
"Ada di dalem. Masih recovery," mendadak gue teringat pertemuan dengan Wigra di kampus. Mungkinkah Wigra cerita ke Irgi?
Irgi manggut-manggut. "Alhamdulillah kalo gitu," gumamnya.
"Gi," sergah gue, mulai capek basa-basi begini. "Lo ada apa ke sini?"
Irgi meletakkan gelasnya. "Cuma mau ngecek keadaan lo gimana."
"Gue baik-baik aja," kata gue.
"Gue lihat kok, Ndi. Dan gue seneng liatnya," jawab Irgi. "Sori juga karena gue baru sempet dateng,"
"Santai. Lo sendiri apa kabar, by the way?"
"Ginilah,"
"Anak-anak tau lo ke sini?"
"Tau kok," Irgi menatap gue. "Mereka titip salam,"
"Trus gimana?"
"Gimana apanya?"
"Soal The Eyeless Pandora," gue menelan ludah setelah menyebutkan The Eyeless Pandora. Mendadak jantung gue seakan hendak lompat menjebol dada.
"Ya masih ada. Masih utuh. Masih nungguin keyboardist-nya," jawab Irgi. "Tapi gue ke sini bukan mau ngomongin The Eyeless Pandora kok, Ndi."
Tanpa sadar kening gue mengernyit.
"Gue udah bilang kan, gue ke sini mau nengokin lo. Sebagai temen," ujar Irgi.
"Gue dan anak-anak nggak bisa bantu banyak soal bokap lo, tapi mungkin cuma ini yang bisa kami lakukan buat lo," lanjutnya.
"Makasih," gue menunduk. "Tapi gue belum bisa..."
"Belum bisa balik ke The Eyeless Pandora. Iya, ngerti. Gue dan anak-anak nggak maksa kok,"
Gue kembali menelan ludah. Inikah maksudnya Irgi bela-belain nyetir dari Bogor ke Salemba?
"Tapi jujur aja, Ndi. Gue penasaran," gue tidak siap dengan lanjutan kata-kata Irgi.
Akhirnya, gue mengangkat wajah dan menyadari Irgi sedang memandangi gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Eyeless Pandora
Historia CortaLima laki-laki dan lima jalan hidup berbeda, dipertemukan dan saling menemukan dalam kelindan mimpi yang sama. Dengar mereka bercerita soal hidup, musik, cita-cita, cinta, luka, menerima, memaafkan, serta serangkaian perjalanan yang menempa untuk j...