[3] Berburu Cokelat

233 10 0
                                    

Sore ini Devina sampai di rumahnya sedikit terlambat karena Devina ikut membantu OSIS di sekolahnya yang sedang mengadakan event. Bukan. Devina bukanlah salah satu anggota pengurus OSIS. Devina hanya membantu karena disuruh oleh wali kelasnya membuatkan poster untuk promosi event itu mengingat Devina adalah salah satu siswa kesayangan guru di kelasnya.

Devina membuka pintu rumahnya. Tepat sebelum Devina menaiki tangga menuju kamar Devina di lantai dua, pintu rumah Devina kembali terbuka, seorang pria paruh baya berjalan memasuki rumah dengan wajah lelah yang sangat kentara.

"Baru pulang, Pa?" Sapa Devina terhadap pria yang diketahui bernama Revan, Papa Devina.

"Hm. Kamu sendiri?" Jawab Revan singkat tanpa sedikitpun menoleh kepada Devina.

"Aku juga baru pulang sekolah Pa. Tadi bantuin anak OSIS bikin poster buat kegiatan sekolah."

"Oh."

Mata Devina berbinar dengan satu alasan, Papa Devina menanggapi obrolan Devina lebih dari satu kali. Hal sederhana, tapi bisa membuat pengaruh yang begitu besar pada diri Devina.

Intinya, Devina bahagia.

Kemudian dengan antusias Devina menceritakan seluruh peristiwa yang terjadi kepadanya beberapa hari belakangan ini.

"Pa?"

"Hm,"

"Papa tau nggak, tadi itu ada cowok nyebelin banget. Dia itu suka gangguin Devina, suka ngeledek Devina, sok kegantengan pula. Mending kalo gantengnya sebelas dua belas sama Al Ghazali atau minimal Aliando deh gitu nggak papa. Lah ini, udah mukanya pas-pasan, sok kecakepan, huh pokoknya Devina sebel banget sama tuh orang. Papa tau nggak namanya siapa? Namanya itu-"

"Papa capek, mau istirahat." Senyum Devina lenyap seketika, Revan berlalu begitu saja tanpa sama sekali memperhatikan raut wajah anaknya yang berubah pias. Devina tersenyum hambar melihat kepergian Papanya. Devina sadar, tidak seharusnya Devina mengharapkan Revan akan berkelakuan lebih baik kepadanya. Hingga akhirnya Devina hanya mampu menatap punggung papanya yang perlahan menghilang dibalik pintu. Air mata Devina turun perlahan. Setetes, dua tetes, dan akhirnya air mata itu turun dengan deras mengaliri pipi Devina.

Pa, Papa kapan sih bisa ngedengerin Devina kayak papa ngedengerin anak Papa yang lainnya.

***

Seorang laki-laki berambut cepak dengan seragam putih birunya terlihat sibuk menulis di atas
bukunya. Ia selalu terlihat berbeda, bahkan diantara siswa-siswa lainnya, hanya ia yang tidak pernah keluar dari kelas ketika istirahat tiba.

Seorang gadis berambut pendek terlihat menghampiri remaja laki-laki itu sambil tersenyum
ramah, "Kamu nggak laper?"
Laki-laki itu tetap diam tidak menanggapi gadis yang kini berada di depan bangkunya sembari menggenggam sebuah kotak bekal berwarna biru laut favoritnya.

Merasa tidak ditanggapi, sang gadis itu pun akhirnya mengintip beberapa lembaran kertas yang
tergeletak begitu saja diatas meja, kemudian membacanya dengan suara sedikit keras,
"Ibarat udara. Engkau memang tidak terlihat oleh kasat mata, namun kehadiranmu selalu ku
butuhkan di setiap harinya. Untukmu, Ibuku tercinta yang–"

Suara gadis itu terhenti karena ia merasa kaget merasakan lengannya ditarik tanpa aba-aba,
sehingga menyebabkan ia jatuh terduduk di bangku sebelah remaja laki-laki itu.
"Sssssttt,"

"Puisi kamu bagus. Buat Ibu kamu ya?"

"Kamu nggak perlu tau," Ujar laki-laki itu datar.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang