Pagi ini Devina terlambat datang ke sekolah. Tadi pagi ia bangun kesiangan, sialnya motornya masih belum diperbaiki. Sebenarnya Devina mempunyai seorang kakak, tapi percuma juga jika meminta bantuan kepbnada sang kakak untuk mengantar Devina ke sekolah, toh kakaknya pasti akan langsung menolak sekalipun Devina belum mengatakan apapun kepadanya, miris bukan? Jadi dengan terpaksa ia harus memesan taksi dan akhirnya terjebak macet.
"Tumben lo telat? Biasa juga murid teladan," Ujar Hera begitu melihat Devina yang baru saja memasuki ruang kelas persis ketika bel berbunyi.
Arin di belakangnya pun juga ikut menimpali, "Teladan ya? Iya, telat datang pulang duluan,"
"Yah malah ngomongin diri sendiri, inget dosa dong Rin. Ngomongin orang aja dosa, apalagi ngomongin diri sendiri. Nyebut Rin, nyebut," Ujar Hera, membuat Arin bangkit dari tempat duduknya, kemudian mencondongkan badannya ke depan untuk menonyor kepala Hera, "Lo tuh ya, temen gue bukan sih. Nyebelin banget jadi orang."
Devina terkikik geli melihat kelakuan kedua temannya yang sangat lucu menurutnya, seketika tawanya berhenti ketika seseorang tedengar menginterupsi dengan suara tegas dan sedikit ketus, "Dee, tugas kemarin yang mau di kumpulin hari ini, selesai kan?"
"Udah. Itu tinggal nambahin nama lo, Hera, sama Arin ke slide power pointnya, habis itu copy ke flashdisk lo, kumpulin, selesai deh," Kata Devina sembari mengeluarkan laptop dari dalam tas kemudian menyerahkannya kepada Nadya.
Diantara mereka berempat, Devina merasa bahwa Nadya adalah seseorang yang paling tidak suka kepadanya. Jika dilihat dari cara berbicara Nadya kepada Devina yang sedikit ketus terkadang membuat Devina jengkel setengah mati kepada Nadya.
"Heh, Sista-sista gue tercinta. Gue ada tebakan nih, ada yang mau jawab nggak?" Ujar Hera memecahkan keheningan.
Devina, Arin, dan Nadya menatap Hera dengan tatapan tidak yakin. Karena menurut pengalaman, terakhir kali Hera memberikan tebakan, jawabannya sangat tidak masuk akal. Meski begitu, Devina tetap menghargai usaha Hera yang sedang berniat untuk mencairkan suasana, "Boleh, kasih tau aja. Siapa tau gue bisa jawab."
Arin menatap Devina, "Lo serius mau jawab pertanyaan ngawurnya si tolol ini, Dee? Udah deh mendingan jangan, gue bilangin. Nih anak suka ngaco soalnya,"
"Arin! Kok lo rese sih, biarin aja. Orang Dee yang mau ini. Sirik aja lo,"
"Tapi ada peraturannya, Dee. Jadi kalau lo nggak bisa jawab tebakan gue, lo harus terima hukuman, dan hukumannya itu lo harus kabulin satu permintaan gue. Tapi kalau lo bisa jawab, gue bakal traktir lo makan di kantin selama seminggu. Gimana? Setuju?"
Tepat setelah menyelesaikan ucapannya, ponsel Hera berbunyi, sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Sesaat setelah membaca pesan itu, Hera menyeringai lebar. Nadya yang tanpa sengaja membaca pesan dari ponsel Hera pun, menatap Hera dengan tatapan nyalang seperti hendak mencegah Hera melakukan sesuatu yang Nadya anggap sedikit membahayakan.
Devina hanya mengangguk pasrah, ia tahu Hera adalah temannya, dan ia percaya bahwa Hera tidak akan menyuruhnya untuk melakukan hal-hal yang buruk apalagi memalukan.
"Jadi gini tebakannya, kenapa air laut itu asin?"
"Karena dulunya ada kapal ngangkut garam, eh terus kapal nya tenggelam."
Hera menggeleng.
"Karena Arin pernah ngebuang upil nya di laut. Upil kan rasanya asin tuh, apalagi upilnya Arin."
Keempatnya sontak tertawa terbahak-bahak. Wajah Arin terlihat memerah menahan malu, untungnya pembicaraan ini hanya melibatkan Devina, Nadya dan Hera saja. Percayalah, bahwa mereka bertiga adalah orang gila yang sedang berpura-pura waras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...