"Sekalipun rindu ini selalu terabaikan, tapi tetap saja susah rasanya untuk melupakan engkau yang secara tidak sengaja menjadi tema disetiap saat aku menulis cerita."
------------------------------------------------------
Afrian melepas jaketnya, kemudian memakaikannya pada gadis yang duduk diatas motornya sembari menangis.Afrian menatap sang gadis dengan iba, mungkin hari ini Afrian akan membiarkan gadis itu menumpang padanya. Sekali ini saja, lain kali mungkin tidak akan.
Sementara itu, di sisi lain Devina melihatnya. Devina melihat Afrian menaiki motor berboncengan dengan gadis berambut blonde.
Gadis itu bernama Grace, ya, Devina mengenalnya. Sewaktu kelas 10, Devina satu kelas dengan Grace, begitu juga dengan Afrian. Namun saat kelas 11, Devina tidak lagi satu kelas dengan Grace, tapi Afrian tetap satu kelas dengannya.
Devina menatap mereka dengan lekat. Dadanya terasa sesak, matanya memanas, seolah ada ribuan benda tajam tak kasat mata tengah menusuk hatinya. Dilihatnya Afrian melepaskan jaket putihnya, kemudian memakaikannya pada Grace. Tidak lama kemudian, Afrian menyalakan motornya kemudian berlalu dari area parkiran sekolahnya dengan Grace yang memeluk punggung Afrian. Sedangkan Afrian tampak biasa saja, sama sekali tidak terlihat risih walaupun dihujani ribuan mata yang menatapnya penuh tanda tanya.
Devina terus saja menatap Afrian hingga benar-benar tidak terlihat dari tempatnya berdiri sekarang. Ada yang berbeda dari Afrian. Afrian yang biasanya tampak risih jika berdekatan dengan perempuan, kini malah terlihat asyik-asyik saja berboncengan dengan Grace yang memeluknya dari belakang. Ingatan Devina jatuh pada kejadian beberapa tahun lalu
"Afri? Kantin yuk, Devina laper," Rengek Devina sembari menyandarkan kepalanya dengan manja pada bahu Afrian. Membuat Afrian bergerak-gerak gelisah, karena risih dengan tingkah Devina.
Devina mulai terlihat kesal, "Afri kenapa sih? Gerak-gerak mulu perasaan. Kenapa? Nggak suka Devina senderin? Malu? Yaudah pergi aja sana!"
Afrian mengusap kasar wajahnya, "Nggak kok. Yaudah sini, peluk lagi."
"Ogah. Udah males. Pergi aja sana, jangan deket-deket. Lagi Devina nggak meluk Afri kok, cuma nyender aja. Nanti biar Devina cari pengganti Afri yang senderable."
"Na, aku kan nggak maksud gitu. Udah sini senderan lagi," Kata Afrian sembari meraih kepala Devina agar kembali mendekat ke bahunya, namun dengan cepat Devina menjauh dari jangkauan Afrian.
"Devina, tadi kan aku nggak maksud gitu. Aku cuma malu aja diliatin banyak orang. Nanti dikiranya kita ada apa-apa,"
Devina menatap tajam Afrian.
Afrian menutup mulutnya karena merasa salah bicara, "Eh.. Maksudnya takut dikira kita ngapa-ngapain."
"Afri malu ya jalan sama Devina? Karena Devina nggak cantik, iya kan? Yaudahlah Devina tau diri kok... Kalo gitu Devina ke kelas dulu, malu diliatin banyak orang. Afri kan ganteng, jadi harusnya makan sama orang cantik kayak Laudya, bukan Devina yang jelek,"
Afrian mengacak rambutnya kasar. Berkali-kali ia menghela napas berat. Devina pergi begitu saja karena salah paham. Afrian tidak mengejar Devina sebab Afrian sendiri pun bingung harus menjelaskan mulai dari mana kepada Devina.
Devina tidak mengerti jika Afrian memang sangat risih jika sudah berdekatan dengan perempuan, kecuali Mamanya, dan sekarang mungkin Devina juga merupakan pengecualiannya.
Devina mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tidak menjatuhkan air matanya disini.
"Dee? Ngapain lo disini?" Sapa Caramel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...