"Mereka bukan teman. Mereka hanya orang-orang asing yang kebetulan ada di dekatmu dan sedang memerlukan bantuan."
____________________________________
Hari ini adalah ulang tahun Devina yang ke tujuh belas. Semua orang terlihat antusias merayakannya. Semua orang hadir menjadi satu untuk sekedar mengucapkan selamat pada Devina yang hari ini bertambah usia.
Devina tampak bahagia menatap mereka semua yang hadir, keluarganya, teman-teman sekolahnya, dan satu-satunya orang yang paling berharga untuknya, Afrian. Laki-laki itu terlihat tampan dengan setelan celana jeans dan kaos berwarna hitam, dibalut dengan jas yang berwarna senada membuat penampilan Afrian yang semi formal terlihat nyaris sempurna.
Devina tersenyum bahagia melihat deretan tamu yang bergantian mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Keluarganya lengkap, teman-temannya, dan orang kesayangannya semua hadir tanpa pengecualian.
"Afri, aku bahagia."
Afrian menatapnya lembut, "Aku juga."
"Na?"
"Hm?"
"Devina Sabrina Elfaza, apapun yang terjadi di hati aku selamanya cuma ada kamu sampai mati."
Devina lagi-lagi tersenyum. Namun bukan senyum bahagia seperti biasanya, lebih pada senyum aneh karena ucapan Afrian baru saja. Afrian tidak biasanya berucap seperti ini. Afrian memang romantis, tapi lebih pada tindakan, bukan perkataan.
"Afri aku jug---"
Ucapan Devina terhenti ketika terdengar bunyi ledakan yang memekakan telinga. Semua orang panik menatap Afrian yang kini terbaring di tanah dengan tubuh yang bersimbah darah.
"AFRI!!!!"
"Afri!!! Bangun, please."
Devina memeluk Afrian erat, tidak peduli sekalipun dandanannya menjadi rusak karena tangisnya serta gaun yang semula berwarna putih kini berganti warna menjadi merah.
Devina menangis sejadi-jadinya. Seketika suasanya menjadi sepi senyap. Tak ada seorang pun disana. Hanya ada Devina, Afrian, dan seorang gadis yang kini berdiri di samping tubuh Afrian yang terbaring lemah.
"Lo juga harus mati." Ujar gadis itu mengarahkan pistol nya pada Devina.
'Dorrr' peluru itu melesak dengan cepat mengenai kepala Devina hingga dirinya jatuh tepat di samping Afrian. Sayup-sayup sebelum benar-benar terpejam, mata Devina sempat melihat gadis yang baru saja menembak dirinya.
"H-He ra?" Ucap Devina lirih. Kemudian semuanya menjadi gelap.
***
Devina terbangun dari tidurnya. Tangannya meraba-raba kepalanya untuk memastikan sesuatu hal. Kemudian ia bernapas lega ketika mengetahui tidak ada satupun luka bersarang di kepalanya, hanya saja rambutnya basah karena keringat. Selebihnya, ia masih baik-baik saja.
"Gila, mimpi gue horor banget."
"Gara-gara semalem lupa berdoa nih pasti."
Devina menggelengkan kepalanya sembari meraih gelas berisi air putih diatas nakas kemudian meminumnya.
Tapi kenapa di mimpi gue Hera itu jahat ya, batin Devina.
Namun ia segera menepiskan hal itu, karena ia percaya bahwa Hera benar-benar temannya. Lagi pula, jika dilihat-lihat Hera itu sedikit kekanakan dan polos. Meskipun di kelas Hera termasuk siswa yang cerdas, namun jika melihat juga koneksi otaknya yang sedikit lemot jika dia cak berbicara, Devina semakin yakin bahwa Hera tidak akan tega berbuat sejahat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...