Suasana dingin menyelimuti seluruh ruangan. Baik Afrian maupun Papanya, memilih bungkam dan bergelut dengan perasaannya masing-masing.
Afrian tau ini menyedihkan. Ia jelas merindukan keluarga kecilnya ketika masih utuh dulu. Satu hal yang masih Afrian syukuri adalah fakta bahwa sekalipun kedua orang tuanya tinggal terpisah, mereka tidak bercerai. Setidaknya, masih ada puing-puing yang Afrian harap dapat kembali menyatu meski bukan ia yang merekatkannya.
Afrian berharap, semoga saja Tuhan berbaik hati untuk mengirim malaikat-Nya guna mempersatukan kembali keluarganya yang terpecah.
"Bagaimana sekolahmu?" Suara Wiranata untuk pertama kalinya mencoba memecahkan kebisuan diantara keduanya.
"Baik." Jawab Afrian singkat.
Karakter Afrian memang diturunkan dari Wira, Papanya. Dingin, tegas, sekaligus kaku, tidak pandai mengekspresikan perasaannya.
"Seharusnya memang begitu. Setidaknya kamu harus bisa menyamakan nilaimu dengan Gilang. Kalau bisa ya harus jauh diatasnya, mengerti?"
Ini yang selalu membuat Afrian kesal setengah mati pada Papanya.
"Gilang... Gilang... Gilang... Aku ini Afri, Pa, bukan Gilang!" Afrian menumpahkan amarahnya. Dadanya naik turun merasakan kesal yang luar biasa terhadap Papanya.
"Tapi jelas dia lebih segalanya dari pada kamu!"
Hati Afrian mencelos mendengar jawaban lugas tanpa sedikitpun ada keraguan dari Papanya.
Lihat? Seberapa tidak berharganya Afrian di mata Wira, Papanya? Harusnya Afrian tidak pernah dilahirkan bersama Gilang sebagai saudara kembar. Toh Kakaknya itu adalah kesayangan semua orang tua. Mamanya, Papanya, bahkan Kakeknya pun sepenuhnya terfokus pada Gilang. Sedangkan untuk Afrian? Cukup secuil saja, ia sudah banyak bersyukur.
"Harusnya dulu Mama, Gilang sama Papa nggak usah pisah rumah. Biar aku yang hidup sendiri." Cicit Afrian terdengar parau. Keadannya menyedihkan. Namun sekuat mungkin ia berusaha untuk tegar.
Rahang Wira mengeras, "APA--"
"Permisi, Pak, mohon maaf mengganggu sebentar. Ada yang mau bertemu Bapak."
Wira menghirup napas dalam, menetralkan kembali perasaannya. "Siapa? Bilang kalau saya sedang sibuk, tidak ingin diganggu!"
Sekretaris itu terlihat bingung. Disatu sisi ia takut mengganggu atasannya, tapi disisi lain orang yang ingin bertemu dengan bosnya ini begitu menyebalkan. Ia bahkan sekarang berdiri tepat dibelakang sang sekretaris, memaksa untuk masuk.
"Awas mbak, saya tuh mau masuk. Minggir ih! Gendut banget jadi orang, sampai nggak masuk aku nih."
Afrian memutar bola matanya, cewek gila mana yang seberani itu membuat ribut di depan ruangan Papanya. Cari mati itu namanya.
Sekretaris itu kemudian menyingkir, membiarkan cewek aneh itu masuk. Biar saja cewek itu yang mendapat omelan dari bos sekaligus anaknya yang benar-benar menyebalkan.
"Selamat siang Om Wira--" Sapanya terhenti ketika matanya menangkap sosok remaja seumuran dengannya duduk tenang di sofa.
"Loh kok ada Afri?" Suara Devina meredup, tidak sesemangat saat menyapa Wira.
Wira terlihat terkejut. Begitu juga dengan Afrian, hanya saja cowok itu berusaha menyembunyikan keterkejutannya, berusaha terlihat biasa saja.
"Selamat siang juga, ada perlu apa kamu kesini Dee?" Tanya Wira ramah.
Devina tersenyum, berjalan mendekat ke arah Wira, kemudian mencium tangannya dengan sopan. "Om sibuk nggak?"
"Mungkin, enggak?" Lagi-lagi Wira menjawab pertanyaan Devina dengan tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teenfikce(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...