"Are you okay?" Tanya Rezka pada gadis yang baru saja sadar setelah tiga hari memejamkan matanya.
Gadis itu terlihat berbeda dari biasanya. Wajahnya yang biasanya cerah, kini terlihat pucat, tak ada lagi senyuman lebar yang selalu menghiasi wajahnya setiap saat. Gadis itu kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Gadis itu mengangguk lemah, menampilkan senyuman tipis yang tentu saja tidak selebar biasanya.
"A... Air..." Ucap gadis itu terbata.
Rezka pun berdiri, mengambilkan gelas berisi air putih. Kemudian membantu gadis itu untuk duduk dan meminumkan airnya.
Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu dibuka, dari balik pintu itu muncul lah seorang laki-laki berseragam SMA dengan penampilan rapi.
Laki-laki itu tampak terkejut melihat gadis yang sudah tiga hari ini ia khawatirkan kini telah membuka matanya. Saking terkejutnya, laki-laki itu sampai berteriak dan berlari cepat ke arah ranjang rumah sakit untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi.
"YA AMPUN DEE, UDAH SADAR LO?!!"
"Lingga! Jangan teriak! Dia baru aja sadar!" Ucap Rezka tegas, membuat Lingga kicep seketika.
Awalnya Lingga ingin menumpahkan kemarahannya pada Devina yang berhasil membuatnya ketar-ketir selama tiga hari ini. Namun entah mengapa rasa marahnya menguap begitu saja, ketika melihat Devina terbaring lemah dengan wajah pucat, tidak secerah biasanya.
Memang selama tiga hari ini, sepulang dari sekolah, rutinitas Lingga yang selanjutnya adalah menjenguk Devina di rumah sakit. Awalnya Lingga ingin sekali membolos sekolah untuk menunggui Devina di rumah sakit, tapi Rezka melarangnya. Karena bagaimanapun juga, Lingga sekarang adalah siswa tingkat akhir di SMA. Lingga tidak boleh bolos sekolah karena harus belajar supaya bisa mengerjakan soal-soal ujian yang dalam beberapa bulan lagi akan segera datang.
Selama tiga hari itu pula, Rezka adalah orang yang paling setia ada di samping Devina, karena Rezka sudah kepalang menganggap Devina sebagai adiknya yang harus ia jaga bagaimanapun caranya. Rezka bahkan rela membolos kuliah demi menjaga Devina.
Meskipun tidak memiliki hubungan darah, mereka bertiga sudah selayaknya keluarga yang saling menjaga apabila ada salah satu diantaranya terluka.
"Lo tuh ya, udah dibilangin jangan kerja terlalu keras, malah ngeyel. Kambuh juga pan penyakitnya." Ujar Lingga.
Devina tersenyum kecil melihat Lingga yang sedang asyik melanjutkan omelannya bak ibu-ibu komplek yang tengah menggosipkan tetangganya.
"Lo tau, gue sama Rezka khawatir setengah mati sama lo coy. Gimanapun juga lo adalah bagian dari kita, keluarga kita, sekalipun kita nggak ada hubungan darah."
Suara Lingga melembut, "Kita kerja sama-sama, dapat hasilnya sama-sama, nikmatinnya sama-sama, jadi semisalnya lo sakit, kita juga sama, Dee. Jadi please, lo harus kuat biar kita bisa terus sama-sama kerja. You're my sister, and Rezka's my brother. We're like a family. Forever."
Suasana menjadi hening setelah Lingga selesai berbicara. Devina mengusap air matanya yang jatuh. Devina merasa terharu sekaligus bersyukur karena telah diberikan keluarga kedua yang amat sangat menyayangi dan menjaganya.
Hingga sebuah kalimat menyadarkan Devina pada satu hal yang selama ini ia lupakan, "Dee, nggak mau ngabarin keluarga lo? Udah seminggu lo sama sekali nggak pulang ke rumah keluarga lo. Mereka pasti khawatir sama keadaan lo, Dee."
"Not yet, mereka mungkin udah lupa kalau gue masih jadi bagian dari keluarganya."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...