"Berhenti main-main dengan sekolah kamu!"
Seorang wanita paruh baya, namun masih terlihat muda berdiri dihadapan Gilang dengan berkacak pinggang. Dari kata-katanya, jelas sekali ia marah, namun tetap berusaha mengontrol nada bicaranya agar tidak terlalu tinggi, karena sadar bahwa ini masih berada di area sekolahan.
Gilang memutar bola matanya kesal. Beginilah resiko menjadi anak seorang Kepala Sekolah, selalu terikat peraturan, padahal Gilang adalah sosok remaja pecinta kebebasan.
"Apa sih Ma,"
"Gilang kamu itu sudah besar, sebentar lagi kamu kuliah. Jadi Saya mohon, kamu fokus belajar. Kali ini saya berbicara sebagai Mama kamu, bukan sebagai Kepala Sekolah," Nada bicara Ana -Mama Gilang- mulai melembut, ia duduk disamping Gilang, kemudian meraih pundak Gilang untuk bersandar kepadanya.
"Maafin Mama nak, Mama nggak bisa jadi orang tua yang baik buat kamu. Mama minta maaf," Ana mengusap rambut Gilang perlahan, ia mengerti perasaannya anaknya. Sesungguhnya, Ana mengenal Gilang melebihi siapapun yang mengenalnya. Ana tahu, Gilangnya, bukanlah anak nakal seperti apa yang terlihat di depan umum.
Perlahan namun pasti, tangan Gilang bergerak membalas pelukan Mamanya. Mereka sama-sama terluka, dan mencoba untuk saling mengobatinya. Bagaimanapun juga, hubungan antara seorang ibu dan anaknya terkadang memang lebih dalam dari kedalaman Samudera Atlantik.
***
Devina menyeka keringat yang meluncur dari dahinya beberapa kali. Sore ini cuacanya memang mendung, namun entah mengapa Devina merasa sangat panas berada di dalam ruang komputer bersama dengan Afrian.
Hari ini Devina ditugaskan untuk membuat design logo untuk ekstrakurikuler fotografi yang baru diresmikan beberapa hari yang lalu. Entah sebuah keberuntungan atau kesialan, Devina bertemu dengan Afrian yang kebetulan juga sedang berada di dalam lab. Komputer, entah untuk apa, Devina tidak tahu.
Dua jam berlalu, Devina sudah hampir menyelesaikan desain nya. Untuk menghilangkan rasa bosannya, sesekali Devina membuka facebook yang kira-kira sudah dua tahun ini sama sekali tidak tersentuh sama sekali.
Deandra Putri Faradisa. Jari-jari Devina mendadak kaku ketika tanpasengaja nama itu muncul pada timeline facebook milik Devina. Rasanya, seperti ada seribu pisau yang menikam dadanya ketika mengingat nama Dea, adiknya. Terlebih dengan segala kesalahan yang paling Devina sesali hingga sekarang.
Devina Sabrina E : Lo udah pulang?
Devina mengetikkan sebuah pesan kepada Gilang sekedar untuk menghilangkan kesalnya kepada Afrian yang sedari tadi hanya diam, mungkin karena lupa caranya bergerak. Ah iya, Devina bahkan berpikir mungkin Afrian juga lupa caranya bernafas.
Gilang Kusuma : blm
Gilang Kusuma : knp?
Gilang Kusuma : kgn y? Uhuy gw ada yg ngangenin skrgDevina merasa seperti mengirim pesan kepada orang yang salah, lihat saja Gilang. Bukan hanyadi dunia nyata, dalam chat pun Gilang benar-benar menyebalkan dan super duper sekonyong-konyong koder percaya dirinya.
Devina Sabrina E : Najis lo
Devina Sabrina E : Serius lo blm pulang?
Devina Sabrina E : Beliin makanan dong, gw laper blm makanGilang Kusuma : Modus
Gilang Kusuma : Aslinya lo kgn gw kan? Pgn ktmu sm gw?
Gilang Kusuma : Blg aslinya jg gpp kok, gk usah malu2 kmbing gtDevina Sabrina E : BODO AMAT!!!! [Read]
"Gila ya itu Karet Gelang. Songong banget, chat gue cuma di baca doang. Sialan, katanya anak orang kaya, dimintain tolong suruh beli makanan pakai uangnya dulu terus nanti gue ganti, pelitnya setengah mati. AWAS AJA GUE DOAIN KAGA SELAMET DUNIA AKHIRAT LO," Ujar Devina memaki Gilang, walau sebenarnya Devina sendiri sadar jika Gilang tidak akan bisa mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Fiksi Remaja(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...