"Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahkan pelaku bisa dianggap sebagai korban? Dan korban pun juga berpotensi didakwa sebagai pelaku kemudian dianggap bersalah? Kau ingin tahu caranya? Mudah. Tambahkan sedikit bumbu kebohongan, jangan lupa bubuhkan kesedihan yang sangat berlebihan, kalau perlu keluarkan air mata sebagai senjata, dan taraaa... kecurigaan orang terhadapmu akan menghilang, dan ya kau akan dianggap sebagai korban meski sebelumnya kau adalah pelaku. Sedangkan sang korban yang sebenarnya akan dianggap bersalah hanya karena dia tak mampu berbicara, dan terus-menerus diam tak mau menceritakan yang sebenarnya."
____________________________________
"Ra, lo yang sabar ya." Ucap beberapa siswa yang pagi ini tanpa sengaja berpapasan dengan Hera.
Hera tersenyum miring, hanya perlu sedikit rumor ditambah dengan racun kebohongan, berhasil membuat Devina tersudut.
Dibalik topengnya yang lugu dan polos, Hera memang menyimpan dendam yang begitu besar pada keluarga Devina. Revano Pratama dan Raline Larasati, kedua orang tua Devina adalah penyebab kematian orang tua Hera.
Hera berjanji tidak akan memaafkan mereka hingga titik darah penghabisan. Hera akan membalas dendam dengan menghalalkan segala cara, termasuk memperalat Gilang dengan alasan balas dendam alasan kematian Deandra pada Devina, yang sebenarnya adalah perbuatannya sendiri.
Cowok bodoh, emang.
Senyum Hera semakin melebar ketika mendapati Afrian berjalan tergesa di koridor seberang. Kemana lagi tujuannya jika bukan bukan pada Heramanda Kurnia Raditama.
Belum sempat Hera melemparkan sapaan selamat paginya, Afrian malah menarik paksa tangan Hera agar mengikutinya. Bukannya kesakitan karena tangannya dicengkram kuat oleh Afrian, gadis itu malah tersenyum lebar seolah tahu apa maksud dan tujuan Afrian memperlakukannya seperti ini.
Afrian melangkah dengan pasti ke arah gudang belakang sekolah. Tempat ini sepi, apalagi ini masih pagi hari, belum banyak siswa yang menapakkan kakinya di sekolah.
Setelahnya, Afrian menghempas kasar tangan Hera, cewek itu hampir saja terjatuh jika saja tidak cepat-cepat menyeimbangkan tubuhnya.
"Lo apain Devina?!!!" Teriak Afrian.
Tebakan Hera ternyata benar. Sebagai jawaban sari pertanyaan Afrian, Hera hanya mengangkat cuek bahunya, seolah mengatakan ia tidak tahu.
Afrian maju dua langkah mendekat ke arah Hera, matanya memerah, urat-uratnya terlihat jelas di wajahnya yang tampan.
"Jangan lagi ganggu Devina!"
"Gue udah lakuin apapun yang lo mau, Hera. Jangan pernah ingkar janji!"
"Gue turutin semua kemauan lo, asal jangan pernah sekalipun lo sentuh Devina."
Afrian mengatur napasnya yang tersengal karena emosi. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa setelah ia menuruti seluruh kemauan Hera ---termasuk untuk berpacaran dengannya--- cewek itu malah dengan santainya mengganggu Devina. Menyebar fitnah, hingga Devina tersudut dan dibenci oleh seluruh siswa sekolahnya.
Melihat emosi Afrian yang berangsur stabil, Hera tersenyum miring. Kini gantian dia yang akan beraksi. Ia maju mendekati Afrian, tangannya meraih dasi yang dipakai Afrian, mengelusnya pelan bermaksud merapikan.
"Afrian Putra Wiranata."
"Tapi sayangnya lo keliru."
Afrian menatap tajam Hera. Namun tatapan tajam itu tentu saja tidak dapat mengintimidasi seorang Heramanda Kurnia Raditama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...