"Yan, please," Terdengar suara perempuan dari ponsel seorang laki-laki yang sepertinya sudah enggan menanggapinya.
"Gue sibuk,"
"Gue mohon lo dateng, temenin gue sebentar aja. Gue takut disini sendirian,"
"Apa sih, alay lo!"
Laki-laki itupun memutuskan sambungannya secara pihak. Sungguh ia sama sekali tidak peduli. Baginya, urusannya dengan gadis itu sudah selesai. Entah bagaimana tanggapan dari gadis itu. Bagi laki-laki itu yang terpenting sekarang adalah, mencari mangsa baru untuk diajak bersenang-senang dalam jangka waktu tiga hari kedepan.
***
Gadis manis berusia enam belas tahun itu tampak berjalan menelusuri lorong sekolahnya, sesekali ia tersenyum ramah pada beberapa orang yang menyapanya.
Gadis dengan rambut lurus sebahu, alis tebal dan sepasang mata yang menyipit membentuk bulan sabit saat tersenyum, seolah menjadi penegas jika Tuhan menciptakan gadis itu sambil tersenyum.
Bertemu dengan dia selalu membuatnya lupa caranya bersedih. Ingatan gadis itu terus melayang pada kejadian sekitar dua jam yang lalu,
Seorang gadis bermotor matic ini tampak terburu-buru mengendarai sepeda motor maticnya. Sesekali matanya melirik kearah benda bulat kecil yang melingkar indah dipergelangan tangannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh menit. Itu artinya sepuluh menit lagi pintu gerbang akan ditutup. Sesekali matanya melirik kearah jam tangan yang melingkar indah dipergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh menit. Itu artinya sepuluh menit lagi pintu gerbang akan ditutup.
Kemungkinan terburuk jika Devina terlambat adalah predikat sebagai siswa teladan akan hilang begitu saja.
Ternyata pintu gerbang sudah hampir tertutup sempurna. Jadi mau tidak mau para siswa harus bergantian melewati pintu gerbang. Ketika tiba giliran Devina akan memasuki gerbang, hampir saja motornya bertabrakan dengan sebuah motor sport berwarna merah dan itu mengharuskan salah satu diantara kedua motor itu harus mengalah.
"Nggak mau tau ya. Pokoknya ini motor gue duluan yang masuk. Enak aja lo, dateng-dateng langsung nyerobot giliran orang."
Devina menatap motor sport itu dengan kesal. Namun seketika tatapan kesal itu berubah saat menyadari sang pemilik motor itu adalah, Afrian.
"Lo masuk duluan aja nggak pa-pa." Devina akhirnya mengalah dan memutuskan untuk memundurkan motornya.
Tepat sesaat setelah Devina menstarter motornya, bel tanda jam pertama pelajaran berbunyi. Akhirnya Devina ter-lam-bat.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas menit, gadis ini, Devina Sabrina Elfaza berjalan memasuki ruang kelas "XI IPA 2" dengan wajah biasa saja. Siapa mengira bahwa gadis manis ini baru saja menyelesaikan hukumannya.
Wajahnya tidak tampak lelah padahal ia baru saja mendapat hukuman membersihkan toilet wanita.
Sungguh Devina sama sekali tidak keberatan bila setiap harinya ia mendapat hukuman seperti ini, asalkan setiap pagi ia dengan sang pujaan hatinya. Lagi pula siapa wanita yang hatinya tidak berbunga bila dipagi hari yang cerah ini ia bisa bertatap muka dengan dia,
Afrian Putra Wiranata.
Badannya memang tidak atletis, tapi tubuhnya yang tinggi dan tegap membuatnya terlihat nyaris sempurna tanpa celah. Jangan lupakan mata tajamnya yang selalu memancarkan aura mencekam bila berdekatan dengan seorang wanita. Afrian memang tidak terlalu tampan, tapi cukup membuat hati Devina berdebar tiap beradu pandang dengan mata berwarna hitam pekat milik Afrian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...