[20] Destiny

114 6 2
                                    

"Menurutmu, apa yang lebih menyakitkan dibanding rindu? Ya. Itu adalah kamu."

____________________________________

Siang ini Afrian sedang menunggu seorang gadis misterius di parkiran sekolahnya. Ya, gadis yang siang tadi merokok bersamanya di atap sekolah. Namun hingga hampir satu jam lamanya gadis itu tidak kunjung datang menghampirinya.

Parkiran sudah mulai sepi karena sebagian besar siswa sudah meninggalkan sekolah sejak bel pulang sekolah berbunyi tadi. Afrian tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Afrian mendesah dengan keras, baru kali ini ia dipermainkan oleh seorang gadis yang bahkan tidak ia kenal.

"Cuma cowok pecundang yang suka ingkar janji, bukan?"

Afrian menoleh ke sumber suara, dan benar saja, gadis yang sejak tadi ia tunggu sedang berdiri di belakangnya.

"Gue nunggu hampir satu jam," Ujar Afrian dingin.

Gadis itu tampak menaikkan sebelah alisnya dengan gaya arogan, "Jadi?"

Afrian mengacuhkan gadis itu, ia bergegas memakai helm, menaiki motornya dan melajukan motornya perlahan menjauhi gadis berambut panjang itu.

Meladeni gadis aneh itu, Afrian rasanya menjadi kesal sendiri. Namun dengan gesitnya, gadis itu malah naik ke jok belakang motor Afrian, bahkan tanpa seizin pemiliknya. Gadis itu bahkan melingkarkan tangannya pada pinggang Afrian dan menyandarkan kepalanya di belakang punggung Afrian.

"Gue tau banyak tentang Deandra, gue harap lo diam dan ikutin permainan gue," Bisik gadis itu.

Afrian diam saja bukan berarti ia takut, tubuhnya refleks menegang ketika nama itu kembali disebut dan muncul ke permukaan. Gadis aneh itu, berhasil menyeret Afrian untuk kembali masuk ke dalam jurang masa lalu, membuyarkan segala rencana Afrian untuk memperbaiki segalanya.

Dengan berat hati, sepertinya kali ini Afrian tidak bisa lari begitu saja, ia akan menyelesaikan semua yang terjadi di masa lalunya, dan setelah itu ia berjanji akan memulai semuanya dari awal dengan gadis yang selama ini pura-pura ia benci dan selalu ia hindari kehadirannya.

Afrian tidak bisa lagi terlalu lama mengabaikannya, karena bagaimanapun juga Afrian merindukannya. Si gadis kaktus penyuka hujan kesayangannya, Devina.

***


Devina memasuki rumahnya dengan wajah riang, setidaknya hari ini ia sedikit merasa bahagia karena berhasil membuat Rezka dan Lingga tersiksa. Devina bersyukur, karena ia masih memiliki segelintir orang-orang yang menyanginya dengan tulus. Ya, setidaknya masih ada Lingga, Rezka, dan Caramel yang masih bisa ia gunakan sebagai alasannya untuk tetap hidup hingga sekarang.

Devina mengernyit menatap dua buah mobil yang terpakir di halaman rumahnya. Siapa lagi kalau bukan milik kedua orang tua Devina. Sepertinya kedua orang tua Devina pulang ke rumah hari ini.

Tapi sebenarnya, yang membuat Devina sedikit heran adalah karena akhir-akhir ini orang tua Devina lebih sering berada di rumah daripada di kantor. Devina masih mengingat dengan benar bahwa kedua orang tua Devina lebih suka berada di kantor dan menyibukkan diri dengan pekerjaan untuk mengalihkan pikirannya semenjak kematian Deandra adiknya.

Tapi Devina tidak peduli. Lagi pula untuk apa ia peduli jika kedua orang tuanya saja sekalipun tidak pernah mempedulikannya.

Devina bersenandung riang ketika melewati ruang tengah, ia bahkan sama sekali tidak mengucapkan salam, meskipun ia tahu di ruangan itu ada kedua orang tuanya yang sedang bersantai.

"Dee?" Tegur Mama Devina lembut, membuat langkah Devina secara refleks terhenti.

Devina mematung di tempatnya, bohong jika ia tidak merindukan Mamanya setelah satu tahun belakangan ini mereka sama sekali tidak bertegur sapa. Devina melebarkan kedua matanya, mencoba menahan agar air matanya tidak tumpah keluar. Jika saja bisa, ingin sekali rasanya Devina berlari ke arah Mama dan Papanya kemudian memeluk mereka dengan erat. Sayang, Devina tidak pernah bisa melakukannya. Diantara mereka seolah ada dinding raksasa yang tidak bisa ditembus oleh siapapun.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang