[15] B. Gejolak Terpendam

139 7 0
                                    

Devina mendesah berat. Hari-harinya di sekolah terasa seperti suram. Ia ingin segera pulang, rasanya sungguh melelahkan. Tidak ada lagi tempatnya untuk bersandar. Bahkan rumah pun seperti tak bisa ia jadikan sebagai tempat pulang.

Devina merasa sendirian, walau nyatanya kini ia sedang duduk bersama dengan Arin, Hera dan Nadya di meja kantin. Tadi pagi Devina secara langsung melihat Afrian membuang bekal pemberiannya. Masih terasa menyakitkan. Meski nyatanya hal-hal semenyakitkan ini sudah sering terjadi dalam hidup Devina.

Devina masih tidak biasa menerima semuanya. Terlalu berat jika harus ditanggungnya sendirian tanpa siapapun yang bisa ia jadikan sandaran.

"Na?"

Devina terkesiap mendengar panggilan itu. Sebuah senyum terbit begitu saja di wajahnya yang masih pucat. Mengingat hanya ada dua orang yang memanggilnya "Na", yaitu Afrian dan..... Ya, senyum Devina luntur begitu saja.

Gilang

Banana oh nana
Banana sok ramah namanya Devina
Duduk dikantin sambil menganga-menganga

Gilang tersenyum tengil sembari duduk di samping Devina dengan mulut yang menyanyikan lagu Havana - Camilla Cabello dengan liriknya yang sengaja Gilang ubah, dan berhasil membuat mood Devina semakin memburuk.

"Na, napa sih lo cemberut mulu perasaan."

"Eh, ada tokek nempel di baju lo. Na!"

"Gue serius! Kalau nggak percaya, tanya aja sama teman-teman lo!" Ujar Gilang yang langsung diangguki oleh ketiga teman Devina, karena sebelumnya telah mendapat pelototan dari Gilang.

Devina menoleh pada Gilang, "Gue tau lo bohong."

Hanya sekilas, karena setelah mengucapkan kalimat tadi Devina kembali mengalihkan pandangannya. Suasana hatinya sedang buruk sekarang.

"Buset, cuek amat sih Neng."

"Oh iya Na, gue mau bicara empat mata sama lo."

"Eh, kalian! Katak berkaki tiga! Minggir gih, gue mau ngomong privasi sama Devina."

Ketiga teman Devina melotot menatap Gilang yang dengan seenaknya mengusir.

"Ye bego, katak mah kakinya empat bukan tiga. Sekolah dimana sih!" Ujar Hera dengan polos.

Devina diam sama sekali tidak berniat untuk ikut bertengkar dengan Gilang. Tidak seperti biasanya. Mood Devina semakin memburuk ketika matanya bertemu dengan mata Afrian yang sedang berjalan beriringan dengan seorang gadis.

Baru lagi ya? Pikir Devina dalam diamnya. Pandangannya sempat bertemu sekilas dengan Afrian yang menatap tajam ke arahnya, namun buru-buru Devina mengalihkan pandangannya sebelum ia kembali jatuh untuk kesekian kalinya.

Sedangkan di depan mejanya, Arin dan Nadya kompak menginjak kaki Hera dengan keras, "Awwww. Arin, Nadya, sakit tau. Diem dulu, gue mau ngurus ini kecoa satu yang seenak udelnya aja nyuruh kita pindah."

Nadya menghela napasnya lelah. Bagaimana cara menjelaskan pada Hera yang kelewat polos ini, bahwa yang sedang ada di hadapan mereka ini adalah Gilang Kusuma, seorang badboy yang nakal parah, sekaligus cucu pemilik sekolah.

Bukannya takut. Hanya saja, rata-rata semua siswa yang bersekolah di SMA Cipta Kusuma memang selalu mengindari agar tidak berurusan dengan Gilang, jika mereka ingin lulus dari sekolah ini dengan mudah dan tanpa masalah.

Gilang menggebrak mejanya dengan keras. Suasana kantin mendadak menjadi senyap, semua perhatian terpusat pada meja yang di tempati oleh Devina dan teman-temannya.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang